ESENSINEWS.com – Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dinilai sangat diperlukan saat ini.
Banyak elemen masyarakat yang mendorong agar RUU tersebut segera disahkan DPR.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar mengungkap beberapa alasan mengapa RUU PKS perlu segera disahkan.
Pertama, karena Indonesia memerlukan aparat penegak hukum yang responsif terhadap korban kekerasan seksual.
“(Sehingga) penuntut umum dan hakim itu paham apa yang harus dilalui korban,” kata Livia dalam webinar bertajuk ‘Urgensi Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komprehensif’, dikutip dari Kompas.com, Kamis (6/8/2020)
Kedua, yakni terkait bukti kekerasan seksual yang menjadi salah satu poin dalam RUU PKS.
Livia menilai, seharusnya surat dari psikolog dan dokter kejiwaan saja sudah cukup sebagai barang bukti.
Bukti berupa keterangan saksi korban juga dianggap Livia sudah cukup untuk membuktikan kesalahan pelaku.
“Dan ini kita juga di LPSK kami juga mendapati kasus banyak-banyak yang tiba-tiba SP3 atau yang tidak dilanjutkan karena masalah (bukti),” ujarnya.
Kemudian yang terakhir adalah, ketentuan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual agar hal serupa tak terulang kembali.
Ia mengatakan, rehabilitasi dalam RUU PKS tidak menjadi opsi selain hukuman kurungan, tetapi kewajiban yang harus dijalani selama menjalani masa pidana.
“Jadi bukan sebagai alternatif dari pemidanaan tapi selama pemidanaan itu perlu ada rehabilitasi itu supaya keberulangannya tidak,” imbuhnya.
Livia juga mengatakan, korban kekerasan seksual pun sering mengalami dampak sosial.
Menurut dia, ada korban kekerasan seksual beserta keluarganya yang diasingkan oleh lingkungan karena dianggap sebagai aib.
“Yang menyedihkan itu korban dan keluarga itu sering kali juga diasingkan oleh lingkungannya sendiri,” ungkapnya.
“Lingkungan terdekatnya masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal. Karena dianggap sebagai aib,” ujar dia.
Selain itu, lanjut Livia, lingkungan pendidikan dan atau pekerjaan korban juga kerap tidak memberikan dukungan.
Bahkan, korban dan keluarga mengeluarkan biaya-biaya yang sering kali memengaruhi kondisi ekonomi.
Di kesempatan yang sama, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Polri Kompol Ema Rahmawati mengatakan, sejak 2017 hingga 2020 kasus kekerasan seksual didominasi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) dan persetubuhan.
“Mulai dari kasus KDRT yang menonjol dan persetubuhan. Ini sangat menonjol,” kata Ema
Ema mengatakan, pada 2017 pihaknya menangani 5.065 kasus KDRT, 2.511 kasus persetubuhan, dan 2.981 kasus pencabulan.
Kemudian, pada 2018, ada 4.637 kasus persetubuhan, 3.695 kasus KDRT, dan 966 pencabulan.
Sementara itu, pada 2019, terjadi 5.591 kasus persetubuhan, 3.796 kasus KDRT, dan 981 kasus pencabulan.
Pada 2020, Bareskrim menangani 2.834 kasus prsetubuhan, 1.804 kasus KDRT, dan 1.518 kasus pencabulan.
“Itu adalah data kasus yang ditangani oleh kami peroleh khususnya Dir PPA di 2017 sampai 2020 bulan Juni,” ujar dia.
Ema Rahmawati melanjutkan, tantangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak yakni pada proses pembuktian.
Menurut dia, salah satu penyebab sulit dibuktikannya kasus kekerasan seksual karena telatnya pelaporan yang dilakukan oleh korban.
“Pembuktian kasus kekerasan seksual ini ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi kami,” lanjutnya.
Ia mengatakan, terkadang korban telat melapor karena pelaku berasal dari lingkungan keluarga.
Sehingga, hal itu membuat alat bukti tindak kekerasan seksual yang melekat di tubuh hilang.
Selain itu, telatnya pelaporan juga bisa disebabkan karena korban mendapat ancaman dari pelaku kekerasan seksual.
Namun, pada saat korban menutuskan untuk melapor ke polisi, alat bukti yang melekat pada tubuh sudah menghilang.
“Sehingga itu menjadi akan menghambat dalam proses penangana perkaranya,” ungkapnya.
Tantangan lainnya dalam penanganan perkara kekerasan seksual lain yang harus diperhatikan adalah perbedaan pandangan dari aparat penegak hukum dalam menafsirkan undang-undang.
Kemudian, keterbatasan layanan/teknis kesehatan terutama dalam mendukung pembuktian perkara dan pembiayaan belum jelas.
Keterbatasan dokter, psikolog, pekerja sosial, pendamping hukum. Lalu, sarana dan prasarana pengamanan terhadap korban belum terpenuhi, serta sumber daya manusia yang belum responsif gender.
Kendati banyak pihak mendesak untuk disahkan, RUU PKS malah tak ada lagi di daftar Program Legislasi Nasional (Polegnas) Prioritas 2020.
Usulan penarikan ini sebelumnya diajukan oleh Komisi VIII.
Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan.
“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit,” ujar Marwan dalam rapat bersama Baleg DPR, Selasa (30/6/2020).
Dihubungi seusai rapat, ia menjelaskan, kesulitan yang dimaksud dikarenakan lobi-lobi fraksi dengan seluruh fraksi di Komisi VIII menemui jalan buntu.
Marwan mengatakan, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai pemidanaan masih menjadi perdebatan.