ESENSINEWS.com, Jakarta – Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM), Iwan Sumule, menyayangkan sikap pemerintah yang “mengkambinghitamkan” Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi.
Padahal, kata dia, di awal wabah terjadi, publik telah meminta pemerintah melakukan lockdown seperti negara-negara maju dalam menangani corona. Tapi kala itu pemerintah justru merasa yakin dengan PSBB sebagai pilihan.
“Kini, PSBB dijadikan “biang keladi” minusnya pertumbuhan ekonomi,” ujar Iwan melalui akun Twitternya.
Iwan juga meminta pemerintah sadar diri. Sebab, masalah ekonomi dan wabah corona sangat berpengaruh pada nasib rakyat. Jika memang tidak mampu memberi solusi nyata, maka sebaiknya mereka yang bersentuhan langsung pada kebijakan pandemik ini segera mengundurkan diri.
“Tak habis pikir, beberapa waktu lalu @jokowi beri harapan bahwa ekonomi akan tumbuh 5,3% meski diguncang corona. Sementara faktanya, ekonomi kita anjlok menuju -5,32% (minus). Ampun. Prank lagi….Kera lihat yang baik Rakyat Indonesia memang luar biasa, panjang bangat sabarnya. Iya gak sih? Kera lihat yang baik” kicaunya ditwitter.
Dia juga meminta Presiden mengangkat orang-orang yang punya solusi. Salah satunya, ekonom senior DR. Rizal Ramli yang telah mantap memiliki solusi mengatasi masalah ekonomi dan pagebluk corona.
Bahkan Rizal Ramli hanya butuh waktu setahun untuk membereskan masalah ini.
“Tak mampu, tapi tak sadar diri. Minggirlah! Bang Rizal Ramli siap atasi dan bisa beri solusi, janjinya setahun. Iya gak sih?” tegasnya.
Seperti diketahu, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data bahwa ekonomi Indonesia anjlok di angka -5,32 persen. Angka yang berbanding terbalik dengan koar-koar.
Sementara Pengamat Politik Political and Public Policy Studies Jerry Massi menilai reshuffle harus segera di lakukan.
“Semua menteri bidang ekonomi Jokowi diganti, mereka bukan petarung dan menteri disaat krisis. Sosok yang perlu diangkat Rizal Ramli paling dalam 1 tahun beliau pasti bereskan,” kata Jerry.
Selain Ali Wardhana menteri keuangan terlama dalam sejarah yakni 3 kali menduduki posisi ini tahun 1967-1969 telah menurunkan infasi dai 650 persen menjai 9,9 persen atau 10 persen.
Bahkan Ali Wardhana dan Widjojo Nitisastro yang tergabung penasehat tim ekonomi mendiang Presiden BJ Habibie 1998 mampu membuat dollar dari Rp16 ribu menjadi Rp 10 bahkan 8 ribu.
Sedangkan Rizal prestasinya lebih mentereng lagi disaat economic crisis (krisis ekonom) berapa rahun silam, dia mampi membuat pertumbuhan ekonomi dari minus 3 persen menjai 4 persen.
“Saya yakin kemampuan economic analysis and policy, economic forecasts and economic experiance and economic studies sampai monster weather forecast tak diragukan. Dia tipikal Out of the box and up to date,” kata Jerry.
Dibandingkan dengan Menko Ekonomi saat ini Airlangga Hartarto beda jauh kemampuan dibandingkan dengan Rizal.
“Saya bingung juga Presiden Jokowii mengangkat Airlangga yang bukan expert di bidang ini. Jokowi gak perku gengsi mengangkat Rizal jadi ketua Economic Adviser (Penasehat Ekonomi) ataupun Menko Ekonomi atau Keuangan maka saya yakin ekonomi kita akan normal lagi, seperti dibuat RR di era Gys Gur,” kata Jerry.
Bayangan saja kata Jerry, pada era 1920-an, Amerika Serikat pernah alami krisis perekonomian yang terkenal Depresi Besar (The Great Depression). Sejarah kelam tersebut berlangsung selama 10 tahun, mulai dari 1929 sampai 1939 saat jabatan pemerintahan dipimpin oleh Herbert Hoover.
Lanjut kata peneliti kebijakan publik dari Amerika Serikat ini, stlye Rizal mirip Franklin Delano Rossevelt dimana saat krisis dia membuat kebijakan “New Deal” Presiden dua periode dari partai demokrat ini membangkitkan ekonomi AS yang terpukul.
Begitu pula di era 60-an saat Lyndon Jhonson membuat kebijakan “Great Society” disaat AS lagi krisis kepercayaan. Dan ini berhasil. Setelah itu Presiden Richard Nixon menggantikan Jhoson namun mundur akibat skandal Watergate.
Rizal Ramli bagi Jerry layak presiden 2024. Pemimpin yang visioner dan kredibel layak membawa Indonesia semakin baik.