Hampir semua negara di dunia melarang praktek persaingan usaha tidak sehat. Begitu juga dengan Indonesia. Peraturan perundang-undangan Indonesia sudah dilengkapi dengan larangan persaingan usaha tidak sehat, tertuang di dalam undang-undang (UU) No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Persaingan usaha tidak sehat mempunyai arti sangat luas. Mencakup posisi dominan pelaku usaha yang dicapai baik secara natural monopoli dan oligopoli, atau melalui perjanjian usaha untuk menguasai pasar (kartel), atau melalui perjanjian kesepakatan harga (price fixing).
Praktek persaingan usaha tidak sehat tersebut di atas merugikan masyarakat. Makanya dilarang keras. Persaingan usaha tidak sehat membuat harga barang menjadi tidak wajar. Menjadi jauh lebih tinggi dari seharusnya dalam hal persaingan usaha dilakukan secara normal (sehat).
Persaingan usaha tidak sehat akhirnya akan menggilas perusahaan yang lebih kecil secara tidak adil. Akibatnya, perusahaan besar akan semakin besar, mempunyai posisi dominan dalam ekonomi, serta menghasilkan laba yang abnormal besarnya.
Meskipun ada UU Anti Monopoli, cukup banyak persaingan usaha di Indonesia terindikasi sangat tidak sehat. Banyak pelanggaran terjadi. Namun, penegakkan hukum hanya ilusi.Hal ini terlihat jelas di sektor BBM. Pertamina, sendiri atau bersama badan usaha lainnya, mempunyai posisi dominan di sektor BBM jenis RON 89 ke atas.
Posisi dominan ini menjelaskan kenapa harga jual eceran BBM tidak turun beberapa waktu yang lalu, meskipun harga minyak mentah dunia sudah turun tajam. Harga BBM yang tinggi tersebut juga bertahan tinggi di SPBU badan usaha lainnya. Oleh karena itu, masyarakat patut curiga telah terjadi pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli tersebut.
Monopoli, atau posisi dominan, bisa terjadi kalau beberapa atau semua perusahaan di dalam suatu sektor industri menjalin kerjasama untuk menguasai pasar. Kerjasama ini juga dikenal dengan kartel. Dan kartel juga bisa terjadi di dunia politik Indonesia. Bahkan akhir-akhir ini kartel politik tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan.
Kartel bisnis merupakan parasit ekonomi yang merugikan masyarakat sehingga harus diberantas. Tetapi, kartel politik jauh lebih berbahaya karena bisa menghancurkan bangsa dan negara.
Kartel politik adalah kerjasama antar partai politik dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden. Modus kartel politik dicapai melalui dua tahapan permainan.Pertama, ditentukan ambang batas (threshold) dalam pencalonan pilkada (pemilihan kepala daerah) atau pilpres (pemilihan presiden). Ambang batas saat ini, adalah 20 persen dari jumlah kursi Dewan (DPR / DPRD), atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota Dewan (DPR / DPRD).
Kedua, partai politik besar mengadakan perjanjian kerjasama, atau kartel politik, untuk menentukan calon kepala daerah atau calon presiden. Kartel politik ini dengan mudah membagi-bagi teritori kekuasaan di antara mereka di berbagai pilkada.
Yang lebih parah lagi, kartel politik ini akan menghancurkan demokrasi karena bisa mengakibatkan menghasilkan hanya satu pasangan calon kepala daerah atau presiden saja.Meskipun ada dua calon, kartel politik yang mempunyai perwakilan suara mencapai hampir 75 persen pasti sangat mudah memenangkan kontes pilkada atau pilpres ini.
Menyedihkan, dan juga memalukan. Indonesia sebagai negara besar bisa tersandera dengan sistem politik yang dikuasai oleh beberapa orang pengurus partai saja.Yang lebih menyedihkan lagi, kartel politik ini dilakukan secara terang-terangan, tanpa salah, tanpa malu. Akibat kartel politik ini sangat luar biasa, bisa menghancurkan bangsa dan negara. Bisa mengantar Indonesia menjadi negara gagal.
Karena, kartel politik berpotensi besar berlanjut ke kartel di parlemen, mengakibatkan kolaborasi eksekutif dan legislatif, membuat sistem pengawasan di parlemen menjadi lemah, atau bahkan tidak ada pengawasan sama sekali.Kartel politik dan kolaborasi antar pemerintah dan parlemen pada akhirnya membuat kartel bisnis menjamur, ekonomi dikuasai oleh pengusaha besar dan sekelompok kecil pengurus partai. Hukum akan tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah dan tajam kepada kritikus, kesenjangan sosial meningkat, dan Indonesia berpotensi menjadi negara gagal.
Oleh karena itu, rakyat harus menolak kartel politik. Ambang batas pencalonan pilkada dan pilpres harus dihapus. Kerjasama partai politik harus dibatasi, tidak boleh melebihi 40 persen dari jumlah kursi atau suara sah, sehingga setiap pilkada atau pilpres bisa diikuti oleh sedikitnya 3 calon pasangan. Dengan demikian, demokrasi bisa diselamatkan.