ESENSINEWS.com – Pemerintah tidak bisa mengurangi utang luar negeri karena neraca transaksi berjalan mengalami defisit dengan jumlah cukup besar.
Dalam hal ini, untuk menutupi defisit transaksi berjalan dan utang yang jatuh tempo, pemerintah harus senantiasa menyiapkan instrumen utang baru.
“Artinya, utang luar negeri Indonesia akan bertambah besar. Oleh karena itu, realisasi utang pemerintah (yang dinamakan “pembiayaan”) selalu lebih besar dari defisit anggaran,” kata Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Selasa (7/7/2020).
Kata dia, praktek ini untuk mengelabui banyak pihak seolah-olah ekonomi Indonesia bagus. Cadangan devisa naik, kurs rupiah menguat. Sehingga utang luar negeri dalam rupiah seolah-olah naiknya tidak besar.
“Tetapi, praktek ini sangat bahaya. Kurs rupiah overvalued, dan pada saatnya akan terkoreksi tajam. Dan utang dalam rupiah understated,” lanjutnya.
Anthony menambahkan, rasio penerimaan pajak yang semakin rendah dan beban bunga yang semakin tinggi membuat anggaran belanja negara tertekan yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut juga membuat defisit anggaran semakin membesar.
“Bahkan pembayaran beban bunga utang juga harus diambil dari utang baru. Kondisi ini membuat utang pemerintah naik dengan cepat. Hal ini menunjukkan utang pemerintah dalam kondisi kritis,” tandasnya.