ESENSINEWS.com – Sejumlah pakar tampil dalam diskusi webinar Political and Public Policy Studies (P3S), Pewarna dan Esensinews.com yang bertajuk : “Reshuffle Kabinet : Telenovela, Sandiwara aau Drama Politik” yang dipandu Alfons Kimbal sekaligus peneliti P3S.
Tampil sebagai narasumber awal pakar Kebijakan Publik Universitas Trisaksi Trubus Rahardiansyah mengulas dari sisi transparansi,
Menurutnya, dari sisi kebijakan publik sangat menonjol.
“Ada apa sesungguhnya? Marah-marahnya kapan, terungkapnya kapan. Kinerja dari sisi kebijakan publik, ada beberapa kinerja yang lebih menonjol adalah kontroversinya. Seperti KKP, Menkumham,” tegas dia.
Menteri selama ini jelasnya, terkesan lepas dari tupoksinya. Lemah koordinasi dan kolaborasi dengan daerah dalam penanganan kesehatan. Data insentif kesehatan yang belum dicairkan belum clear.
Mengenai rapid test, dan PCR berbayar terang dia, seyogianya sejak awal beri rambu-rambu agar jangan ada yang aji mumpung.
“Saya juga sorot Mensos. Lemah dalam pembagian jaringan pengaman sosial. Sempat ada polemik berkepanjangan. Data bermasalah. Pola penyalurannya tidak tepat. Kemenko perekonomian soal Kartu Pra Kerja, ada konflik kepentingan. Bahkan Trubus melihat ketidakmampuan Kemenperin soal perijinan operasional yang berdampak pada penularan Covid,” tandas Trubus.
Dia juga menyoroti Kemenaker yang mana banyak PHK. Kemenpar, PHK juga banyak terjadi di banyak hotel.
Kementan, ini juga aneh kebijakannya tidak jelas. Ada pembodohan publik di situ. Kementerian PAN, moratorium PNS.
Dia mengakui, kinerja antar kementerian tidak terlihat. Belakangan ada tiga kementerian yang mengecewakan.
Selain itu, aspek transparansi dan aspek akuntabilistas. Ini akan berhubungan dengan efek domino yang akan terjadi di daerah, penanganan Covid-nya jadi tidak tertangani dengan baik.
Sedangkan Ketua Partai Demokrat Heman Khaeron yang kini duduk di Komisi VI DPR-RI menjelaskan Ini biasa saja untuk test the water.
“Soal Covid, ada optimisme presiden ini akan tertangani. Pada situasi pemimpin melihat tidak memuaskan bagi dirinya, tentu akan ada dua, sedih atau marah,” terangnya.
Isu reshuffle ini kata dia, bisa menjadi stimulus politik ke ekonomi.
“Tapi saya lihat ini juga belum terlihat efeknya.
Ini tergantung respon atas statemen presiden. Kalau bagus, berarti bakal reshuffle Tinggal mencari instrumen mana yang akan menjadi magnitude presiden untuk reshuffle. Kalau saya pahami, titik terberat Pak Jokowi adalah sektor ekonomi. Berbagai instrumen sedang banyak dimainkan dan menunggu respon publik,” urai Herman.
Sedangkan Direktur Eksekurif Political and Public Policy Studies (P3S) mempertanyakan Apakah ini sandiwara karena ada bacaan-bacaan yang harusnya nggak perlu. Ini seharusnya presiden melihat kebutuhan publik, bukan sekadar keinginan.
“Jangan-jangan ini mirip telenovela Maria Mercedes, Kassandra atau Si Muka Kotor, oublik lagi wait and see soal pernyataan presiden soal reshuffle kabinet, kalau tidak dilakukan maka publik akan hilang distrust and disintegrity lantaran bulan febuari juga sempat behembus kabar pergantian menter,” jelas peneliti politik Amerika ini.
Sepanjutnya kata Jerry, mimpi bisa, tapi actionnya mana?
Harusnya pak Jokowi ucap dia, harus melihat mana menteri-menteri yang loyo, lesu, lemah dan banyak bikin gaduh di fire atau copot saja.
“Jangan terlalu banyak asumsi tapi to the point saja. Bilang gagal kalau gagal jangan memuji yang kinerjanya buruk. Harusnya, dibentuklah tim ahli di belakang Jokowi (untuk bahas resufel) seperti era mendiang Gus Dur dan Presiden ke-6 SBY.
Sebetulnya tegasnya, kabinet sekarang bukan kabinet yang menyenangkan kuping. Bagaimana dengan tiga dapur di Istana Kepresiden? Ini kan sebenarnya kecekatan presiden melihat. Di partai-partai pendukung Jokowi banyak, kok kandidat menteri yang hebat untuk gabung di kabinet.
“Kalau tidak ada resufel, kepercayaan publik akan menurun. Perlu reshuffle,” katanya.
Sementara Direktur VoxPol Center Pangi Syarwi Chaniago menjelaskan reshuffel kalau berbasis politik (bukan letupan kinerja) nggak ada berkorelasi ke peningkatan kinerja. Bukannya trust yang didapat, tapi malah muncul distrust. Yang lain mahal itu kan kepercayaan publik.
“Jokowi juga pernah bilang nggak ada beban. Kalau nggak ada beban, ya, resufel saja. Ya, senyap saja. Nggak perlu juga marah-marah dipublikasikan. Efeknya apa? Selama sharing power saja, saya pikir itu musibah demokrasi juga. Harusnya lihat kinerja,” kata Pangi.
Disatu sisi katanya, Jokowi seharusnya lebih paham. Bila perlu bikin tim penilai KPI. Kalau Jokowi mau reshuffle, tapi hasilnya harus ada peningkatan? Jangan sampai salah rekrut.
“Karena yang repot presiden sendiri. Jangan menteri jadi beban presiden. Strong leadership vs kinerja menteri. Kalau ganti pemain, ganti saja. Jangan kurangi jatah parpol. Minta ke parpol yang cakep. Jangan sampai berhadapan dengan partai. Kasihan juga kalau menteri dimarahi, tapi efeknya nggak ada. Gunakan dong hak prerogratif secara penuh. Jangan jadi hanya gorengan media,” urai Pangi.
Sedangkan pengamat politik Wempi Hadir dalam webinar ini, lebih menekankan dramaturgi reshuffle Ini menggambarkan siapa di belakang reshuffel.
“Secara historis, Jokowi sebenarnya sudah pernah lakukan. Harusnya nggak ada masalah lagi soal kebijakan tersebut. Soal marah-marah saya pikir hanya untuk mendobrak untuk dorong kinerja dan gaya komunikasi istana sebelumnya. Soal reshufle, ini tergantung rating approval. hasil survey menunjukkan RA itu di bawah 55 persen. Ini sangat rendah sekali. Kalau ini basisnya, ini sudah sepatutnya diganti,” terangnya.
Masalahnya, di sini ada kompromi politik.
memang agak sulit bicara koalisi. 1, kesamaan ideologi, 2. kepentingan. Apa visi misi sama.
“Saya kira nggak ada persoalan kalau sama. Masalahnya mereka juga punya keinginan politik untuk 2024 meningkatkan elektoral. Kita tidak bisa berharap kalau partai hanya mengirim orang terdekat, bukan terbaik,” kata Wempi.
Isu ini tidak terlepas dari konstelasi perpolitikan nasional. PAN dan PD lakukan pendekatan politik ke Jokowi. AHY menuju 2024.
Sedangkan pakar Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan kita harus melihat dengan jernih melihat penyelesaian dampak Covid. Yang jadi persoalan, sistem politik. Multipartai.
Ini masalah luar biasa. memang dibutuhkan seorang pemimpin yang perlu terobosan.
Lebih dari itu ucapnya, Masih ada menteri yang belum bekerja extra ordinary menghadapi masalah yang extra ordinary.
“Soal topik, ya, semua orang pasti berdrama. Dalam konteks politik, tidak jauh perbedaan di belakang panggung dan di depan panggung. Tapi lihat momentum. Kalau dikatakan apakah ini sandiwara, saya setuju. Pasti ada drama di balik ini. Ini wajar. Soal strong leadership, saya pikir Pak Jokowi punya itu. Tapi lihat latar belakang, sistem multipartai. Sistem kita harus ditata. Apakah masih harus 10 partai atau 2 saja. Siapapun presidennya, kalau dengan multipartai, sulit mempunyai strong leadership,” jelas Emrus.
Tapi katanya, dari aspek lain juga harus kita bongkar. Perlu reshuffle ? Kalau tidak perform, reshuffle. Tapi jangan lihat dari satu kacamata saja.
Analisi Politik Univesiitas Indonesia (UI) Reza Haryadi menuturkan sejak awal periode kedua, Pak Jokowi lupa menurunkan sebagai indikator kinerja kabinet.
“Apakah mencapai harapan atau tidak. Dalam konteks ini kita jadi sulit menilai. Semakin komplikatit karena ada pandemi ini,” tutur dia.
Dia pun menyoroti terkait sistem multipartai, hal ini menurut Ade sapaan akrabnya hal ini turut berkontribusi memperumit presiden mereshuffle.
“Tapi, saya kira isunya bukan lagi soal soliditas. Sekarang dukungan pemerintah absolute majority. Kalau memasukkan partai baru, tidak ada insentif politik yang signifikan,” tegasnya.
Dia menilai yang mana tidak ada indikator kinerja untuk mengevaluasi. Bagaimana resafel sebagai kebutuhan untuk menghadapi persoalan ke depan?
“Presiden perlu pertimbangan evaluasi apakah kompatibel dengan tantangan yang harus kita hadapi. termasuk soal penyerapan anggaran,” beber Reza.
Untuk itu tambahnya, semua dari parpol dan profesional, semua rentan diresafel. Perlu perbaikan manajerial presiden. Supaya jangan ada yang overlapping.