Presiden Jokowi perlu mencabut lisensi BBJ _(Bursa Berjangka Jakarta)_ atau Jakarta Future Exchange (JFX) untuk menjual timah. JFX ini memang sudah lama aktif di bursa, tetapi lisensinya hanya untuk menjual komoditas emas dan kopi. Tetapi, mulai tahun 2018, JFX dengan melihat potensi timah, masuk ke pasar timah murni batangan dan merusak harga. Diijinkannya JFX menjual timah dicurigai penuh dengan _deal_ gelap dibelakangnya dalam rangka mempengaruhi kebijakan.
Permendag Nomor 53 Tahun 2018, Tentang Ketentuan Ekspor Timah, tanggal 16 April 2018, juga membuka ruang bagi Bappebti untuk lahirnya lebih dari satu bursa timah, hingga akhirnya _atas perintah atasan,_ Bappebti menerbitkan lisensi bagi bursa komoditi yang memenuhi syarat untuk ikut memperdagangkan timah murni batangan, yakni JFX sebagai salah satu bursa timah selain BKDI _(Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia)_ atau Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX). Padahal, ICDX sudah lebih dahulu menjadi penjual tunggal di pasar timah sekaligus menjadi penentu harga timah nasional dan acuan harga timah dunia.
Saya meminta Bappebti sesegera mungkin mencabut lisensi yang diberikan kepada JFX, dan memastikan ICDX menjadi penjual tunggal timah di bursa komoditas. Presiden Jokowi harus turun tangan dan meminta Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, untuk mencabut Permendag ini.
Dualisme bursa komoditas timah di Indonesia tidak lepas dari kepentingan politik di Kementerian Perdagangan. Pada jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibawah pimpinan Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan, diterbitkan PERMENDAG RI Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013, tanggal 28 Juni 2013, yang mengatur tata niaga ekspor timah dan mewajibkan timah diperdagangkan di Bursa Timah sebelum diekspor (Pasal 11, ayat 1).
Kebijakan ini telah memberi angin segar bagi timah di tanah air untuk menjadi acuan harga di pasar timah dunia. Selain itu, dengan adanya satu bursa, timah kita menjadi besar dan bisa memberikan kontribusi keuangan yang besar bagi penerimaan negara. Keuntungan lainnya adalah stabilitas harga timah di pasar terjaga.
Selain dapat mengurangi jual-beli lisensi bahkan meminimalisir perdagangan timah ilegal, termasuk mewujudkan rencana Presiden Jokowi perihal Pusat Logistik Berikat (PLB). Terbukti Indonesia akhirnya mampu mengendalikan harga timah dunia dan memperluas pasar eskpor timah terbukti harga timah dunia stabil diatas US$ 20.000/MT dari tahun 2016-2018 dan peran Singapura sebagai _secondary market_ dari semula 90 persen di tahun 2014 turun menjadi 20 persen di tahun 2018. Selain itu penerimaan negara dari Devisa Hasil Eskpor (DHE), Pajak dan Royalti terus meningkat.
Namun, ambisi besar acuan harga timah dunia dan kedaulatan timah Indonesia sejak lahirnya PERMENDAG RI No. 32/2013 itu tak lagi memberikan angin segar bagi Industri timah Indonesia, karena di rezim Menteri Perdagangan pemerintahan Jokowi-JK, Enggartiasto Lukita dari Partai Nasional Demokrat, tidak lagi menempatkan BKDI/ICDX sebagai satu-satunya bursa penentu harga timah. Permendag No. 53/2018 melalui Bappebti juga menjadikan JFX sebagai salah satu bursa timah selain ICDX. Indonesia hanya perlu satu Bursa Timah, dan BKDI/ICDX adalah satu-satunya Bursa Komoditi dan Penentu Harga Timah di Indonesia _(Aktualita, Majalah Bappebti, edisi September, 2013)._
Ini sebenarnya aturan kontroversi, anomali kebijakan. Kehadiran 2 (dua) bursa akan merusak _(disrupsi)_ acuan harga dan menyebabkan terpuruknya timah, selain itu pembeli akan bingung dalam menggunakan harga acuan hingga lebih memilih transaksi perdagangan timah Indonesia melalui _secondary market_.
Peningkatan perdagangan melalui _secondary market_ akan mengakibatkan meningkatnya _country risk_ perdagangan timah murni batangan di Indonesia, hingga akhirnya mendegradasi kedaulatan Indonesia dalam menentukan harga timah, dan menurunkan kepercayaan global terhadap Indonesia.
Problem dualisme bursa Timah Indonesia menyebabkan harga Timah menunjukan tren penurunan sejak 2019. Di tahun 2020, harga timah terus menurun sampai di bawah US$ 15,000/MT sehingga berpotensi menyebabkan kehilangan pendapatan devisa sebesar US$ 400 Juta.
Sebagai negara produsen Timah kedua terbesar dan negara eksportir timah terbesar, kehadiran 2 (dua) bursa menyebabkan Indonesia tidak lagi menjadi negara _price maker_ dan kehilangan potensi pasar yang besar. Selain itu, dualisme bursa akan melemahkan pengawasan terhadap tata niaga perdagangan timah Indonesia yang mengakibatkan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan ini menjadi kurang maksimal.
Anomali kebijakan lainnya adalah Pasal 10 PerDirjen No: 05/DAGLU/2/2019 tentang Petunjuk Teknis Verifikasi atas Penelusuran Teknis Ekspor Timah, tanggal 7 Februari 2019, berbunyi sebagai berikut, _Verifikasi atau Penelusuran Teknis Ekspor Timah Murni Batangan, Timah Solder, dan Barang Lainnya dari Timah yang dilakukan oleh Surveyor tidak mengurangi kewenangann instansi teknis terkait untuk melakukan pemeriksaan terhadap Timah Murni Batangan, Timah Solder, dan Barang Lainnya dari Timah_. PerDirjen ini harus dibatalkan karena jelas memunculkan rantai birokrasi yang panjang yang semakin menyulitkan para pelaku pasar timah, bahkan terlihat tidak adanya kepastian hukum.
Presiden Jokowi harus segera turun tangan mengatasi persoalan ini. Ini bukan persoalan sepele. Jika tidak diperhatikan, percuma saja Indonesia menjadi negara produsen timah terbesar kedua di dunia, tetapi tak sanggup menentukan harga di pasar global. Padahal, yang namanya barang tambang akan mengalami kelangkaan dan mengalami titik puncak produksi. Cadangan timah kita terus dieksplorasi sampai habis dan tak memberikan andil besar pada penerimaan negara.
Indonesia memiliki keunggulan komparatif perdagangan timah di pasar internasional dan Indonesia sebagai net exporter timah.
Total sumber daya timah Indonesia berdasarkan data kementrian ESDM dalam bentuk bijih sebesar 3.483.785.508 ton dan logam 1.062.903 ton, sedangkan cadangan timah Indonesia dalam bentuk bijih sebesar 1.592.208.743 ton dan logam 572.349 ton.
Cadangan timah Indonesia ini menempati urutan kedua terbesar di dunia setelah Cina. Dari sisi demand, Kebutuhan timah dunia berkisar 200.000 ton per tahun, dan Indonesia berkontribusi sebesar 40 persen atau sekitar 80.000 ton per tahun. Kondisi ini seharusnya menjadikan Indonesia sebagai _benchmark_ harga timah dunia.
Oleh : Ferdy Hasiman
(Peneliti Alpha Research Database)