Oleh : Novy Viky Akihary (Pemerhati Sosial)
Hal yang menggoda nalar kita ketika membaca RUU HIP adalah sulit menemukan gambaran bahwa RUU yang sedang ramai ini adalah produk cerdas para inisiator di DPR RI.
Ketika membaca 10 Bab yang didalam terdapat 60 pasal dalam RUU tersebut, kita menangkap bahwa mereka (badan legislasi DPR RI yang mengusulkan RUU HIP) mencoba menafsirkan Pancasila untuk kemudian dibuatkan UU yang namanya Haluan (pedoman) Ideologi Pancasila.
Tapi, pada akhirnya terkesan seperti apa yang saya sebut dalam webinar RUU HIP Sabtu, 13 Juni 2020, bahwa RUU tersebut kelihatan seperti buih buih paham materialisme (gabungan antara kapitalisme dengan komunisme).
Pembagian klaster dalam RUU HIP tidak jelas alias tumpang tindih. Seolah olah terdapat perbedaan antara Pancasila, Trisila dan Ekasila. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama Trisila adalah hasil perasan dari Pancasila demikian pula Ekasila (gotongroyong) adalah hasil perasan dari Trisila, sebagaimana disampaikan Bung Karno dalam sidang BPUPKI.
Mereka yang mengkonsepkan RUU ini bahkan tidak paham makna Trisila atau Ekasila, RUU HIP hanya sekedar menyampaikan butir-butir saja tanpa makna.
Hal lain yang menjadi tanda tanya mengapa RUU HIP tidak menyertakan pasal-pasal sanksi atau ancaman hukum bagi pelanggaran atas pasal-pasalĀ tersebut apabila ketentuan hukum dalam haluan dilanggar.
Karena itulah saya memyebutnya lebih menyerupai petunjuk teknis (juknis) bisnis online yang menawarkan keberhasilan material ketimbang sebuah RUU.
Pertanyaanya bagaimana bisa disebut sebagai Ideologi kalau falsafahnya saja keliru. Selanjutnya bagaimana pula dapat disebut sebagai RUU kalau draftnya mirip janji manis aturan atau juknis bisnis online?