Berbagai manuver politik dan lobi-lobi tingkatan elite  sudah terlihat gencar dilakukan. Tak terkecuali mereka para bakal calon (balon) walikota yang kasak kusuk tengah berusaha mencari simpati jutaan warga Tangsel.

Namun, menurut pemerhati sosial Akhrom Saleh, dari sekian balon yang ada hingga saat ini, belum terlihat program dan rencana kerja yang berpihak pada nasib rakyat kecil dan warga miskin Tangsel.

“Nama-nama yang terdengar dan santer di bawah, nggak satupun yang memiliki latarbelakang yang pro rakyat miskin,” kata Akhrom yang lulusan Fisipol ini, Selasa (9/6/2020).

Bahkan menurut mantan aktivis mahasiswa ini beberapa balon yang ada memiliki latar belakang birokrat tulen. Hal tersebut sebutnya menimbulkan dampak minimnya kepekaan terhadap kondiai sebagian warga yang kurang beruntung di Tangsel.

“Contohnya, penyedian rumah murah. Ya jujur aja semua balon sampai detik ini nggak kedengaran ngomongin kebutuhan dasar warga tersebut,” tegas Akhrom

Ia juga menyayangkan masa kepemimpinan Airin-Benyamin selama dua periode belum maksimal menyediakan sarana papan bagi warga Tangsel yang kurang mampu.

“Ada sih bu Airin meresmikan Rusunawa, rumah vertikal (bukan horisontal), tapi nggak banyak, bisa dihitung dengan jari. Jadi, hemat saya masih belum masuk kategori memenuhi kebutuhan warga yang ekonominya lemah, apalagi rusunawanya harus menyewa,” ungkapnya.

Untuk itu, dikatakannya, penting sekali bagi para balon memikirkan program perumahaan bagi warga miskin atau pekerja yang penghasilan rendah.

“Misalnya untuk pekerja formal dan informal berpenghasilan di bawah Rp 8 juta rupiah,” jelasnya.

Selain itu, Ia juga berharap pemerintah Kota Tangsel saat ini maupun para balon yang nanti akan memimpin untuk tidak lagi memberikan karpet merah kepada para pengembang.

“Saya kira sudah cukuplah memberikan karpet merah kepada pengembang, keistimewaan kepada pengembang di Tangsel sudah sangat maksimal. Sekarang saatnya memberikan win-win solution kepada penduduk lokal dan penduduk urban yang nggak punya rumah di sini. Pergunakan lahan yang sudah menyempit ini untuk warga tangsel semaksimal mungkin, agar tidak menciptakan ketimpangan dan kecemburuan sosial antara kaya dan simiskin, maaf seperti di Jakarta misalnya,” papar Akhrom.

Ia beralasan, bahwa selama 28 tahun tinggal di Kota Tangerang Selatan (dulu Kabjpaten Tangerang-red) dirinya merasa miris melihat penduduk lokal yang kurang mampu terus tergusur kedaerah lain.

“Coba aja perhatikan, penduduk lokal yang menjual tanahnya kepada pengembang tak jarang juga terpaksa harus menjualnya. Malah yang membuat miris penduduk lokal pergi dari tanah kelahirannya ke kabupaten tetangga. Apalagi penduduk urban yang kelas menengah ke bawah, nggak mampu beli rumah di tangsel karena para pengembang menjual dengan harga selangit,” pungkas