ESENSINEWS.com, JAKARTA – Pakar ekonomi sekaligus mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli memprediksi wabah virus corona (Covid-19) yang mengguncang dunia bisa memicu krisis ekonomi di Indonesia, jika tak segera reda beberapa bulan ke depan.
Perkiraan krisis juga menguat jika melihat skandal besar di tubuh Jiwasraya dan Asabri yang terjadi saat ini. Belum lagi faktor-faktor lainnya yang satu sama lain berkelindan.
Dia menyebutkan ada lima hal yang menyebabkan krisis perekonomian Indonesia, yang disebutnya dengan “lima gelembung”.
Salah satunya yaitu adanya gelembung yang diakibatkan oleh masalah gagal bayar. Menurutnya, kasus Jiwasraya dan Asabri turut berperan dalam permasalahan ekonomi. Dalam kasus itu, diperkirakan akan terjadi gagal bayar sekira Rp33 triliun.
“Perkiraan saya nanti ada reksadana yang enggak mampu bayar dana pensiun dan lain-lain, total itu Rp150 triliun (gagal bayar),” ujarnya seperti dikutip Indonews.id, yang terbit pada Senin (9/3/2020).
Namun, mantan Menko Kemaritiman itu merevisi kembali perkiraan total gagal bayar yang terlalu rendah itu. “Maaf saya salah, perkiraan saya terlalu rendah. Total gagal bayar sekuritas & asuransi mencapai 400 Trilliun. Perkiraan saya reksadana2 yg enggak mampu bayar dana pensiun dan lain-lain, total itu Rp150 triliun,” cuitnya melalui akun Twitter @RamliRizal di Jakarta, Rabu (3/6/2020).
Sebelumnya, Rizal Ramli mengatakan, saat ini pertumbuhan kredit di negeri ini berkutat di angka empat persen, merosot dari tahun lalu 6,02 persen. Semestinya, katanya, pertumbuhan kredit bisa bertengger di angka 15-18 persen. “Ini sekarang sepertiganya saja. Dengan adanya corona, bisa minus sampai satu persen,” katanya di Surabaya, Jawa Timur, seperti dikutip Vivanews.com, Minggu (8/3).
Gelembung pertama, kata Rizal Ramli yaitu makro ekonomi. “Semua indikator makro merosot lebih jelek dibanding lima hingga 10 tahun yang lalu. Defisit perdagangan, transaksi berjalan, primary balance dari anggaran, tax ratio dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut Rizal, kendati semua indikator makro itu melemah, rupiah tak begitu merosot karena digenjot pemerintah dengan cara meminjam lebih besar dari luar negeri dengan bunga yang lebih mahal. Hal itu nantinya akan menjadi masalah. “Jadi, (pinjaman itu) buat menopang rupiah biar agak kuat sedikit,” ujarnya.
Kedua, ialah gelembung daya beli. Kondisi tahun ini menurutnya yang terburuk dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal itu terjadi karena daya beli yang menurun sehingga penjualan anjlok.
“Penjualan anjlok banget karena uang yang beredar sedikit. Kenapa? Karena kesedot untuk bayar utang. Jadi, setiap menteri keuangan terbalik, menerbitkan surat utang negara, sepertiga dari dana di bank itu kesedot buat beli surat utang negara karena dijamin 100 persen. Yang kedua, bunganya lebih mahal dari deposito,” ujar mantan Menko Kemaritiman itu.
Gelembung keempat, berhubungan dengan digitalisasi. Bisnis online atau digital, kata Rizal, mengalami koreksi valuasi sebesar 40-50 persen.
Gelembung kelima ialah terkait pendapatan petani. Karena kemarau, panen akan mundur sampai Mei dan Juni tahun ini. “Begitu petani panen padi, Bulog-nya tidak punya uang untuk beli, karena bulog masih rugi Rp30 sekian triliun,” ujarnya.
Dengan adanya corona dan lima gelembung masalah ekonomi itu, Rizal memprediksi perekonomian Indonesia akan mengalami krisis pada kwartal kedua. Ia bahkan mengingatkan kondisi tersebut bisa berimbas pada sektor politik seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997-1998.
“Masalah corona ini serius banget, bisa-bisa ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sekitar 3 persen,” ujarnya.
Ancaman Krisis 1998 Terulang
Sebelumnya, Rizal Ramli juga mengingatkan soal ancaman krisis ekonomi tersebut. Dia mengatakan, jika ekonomi tidak segera dibenahi maka dikhawatirkan krisis 1998 akan kembali terjadi.
Peringatan tersebut dikatakan Rizal Ramli menyusul status gagal bayar Duniatex, konglomerasi tekstil di Jawa Tengah yang utangnya senilai Rp17 triliun karena memerlukan restrukturisasi.
“Setelah bonds Jababeka bermasalah, sekarang Agung Podomoro. Masih banyak yang lain yang akan bermasalah karena ekonomi nyungsep,” kata RR di Jakarta, Selasa, 23/7/19.
Menurutnya, jika tidak ada langkah-langkan cepat dan jitu memperbaiki ekonomi, dikhawatirkan akan banyak perusahaan yang menyusul Jababeka Dan Podomoro “Kalau tidak hati-hati bisa menyeret yang lainnya. Belajarlah dari krisis 1998,” ujar RR seperti dikutip MoeslimChoice.
Tak kurang dari 20 lembaga perbankan nasional yang terlibat dalam restrukturisasi kredit di Duniatex. Kredit senilai Rp17 triliun itu diberikan melalui sindikasi ataupun secara bilateral ke kelompok usaha yang berdiri pada 1974 dan berkantor pusat di Karanganyar, Jawa Tengah tersebut. Kabarnya, AJ Capital Advisory telah ditunjuk menangani restrukturisasi kredit tersebut.
Duniatex merupakan perusahaan tekstil yang didirikan oleh pengusaha Hartono pada 1974. Kini, Duniatex Group memiliki 18 perusahaan di bidang pertekstilan, salah satunya adalah PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT).
Bloomberg sebelumnya melaporkan, masalah ini berawal ketika DMDT menerbitkan obligasi dalam bentuk dolar Amerika Serikat sebesar US$300 juta pada Maret 2019. Surat utang global itu bertenor lima tahun dengan kupon 8,625%. Bahkan, permintaan obligasi itu sempat mencapai US$1 miliar.
Namun, empat bulan kemudian, lembaga pemeringkat utang S&P Global Ratings memangkas peringkat obligasi global yang dijual oleh DMDT dari BB- menjadi CCC-.
Pemangkasan peringkat oleh S&P dilakukan setelah konglomerasi perusahaan tekstil itu gagal membayar kupon pinjaman dolar AS yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019 sebesar US$11 juta.
Sebelumnya, PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) juga mengakui adanya potensi gagal bayar atau default atas surat utang anak perusahaan senilai 300 juta dolar AS berikut dengan bunga.
Dua lembaga pemeringkat kredit Moody`s Investors Service dan Fitch Ratings menurunkan peringkat utang PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN). Moody`s Investors Service menurunkan peringkat APLN dari B2 dengan prospek dalam pengawasan negatif, sedangkan Fitch Ratings diturunkan dari B- menjadi CCC-.
Penurunan peringkat ini disebabkan oleh meningkatnya risiko pembiayaan kembali dan likuiditas APLN yang disebabkan oleh keterlambatan dalam menerbitkan fasilitas pinjaman. Berdasarkan Perjanjian Fasilitas, seharusnya fasilitas pinjaman tahap 2 sudah diterbitkan hingga Rp 2,6 triliun pada 24 Mei 2019.