ESENSINEWS.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) didorong agar mencetak uang untuk menanggulangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian Indonesia kian terseok-seok.
Pandemi Covid-19 telah membuat sejumlah negara mengambil kebijakan seperti karantina wilayah (lockdown). Pemerintah di Indonesia mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun PSBB juga membuat roda perekonomian tumbuh melambat, bahkan ngos-ngosan.
Untuk menanggulangi hal tersebut, Badan Anggaran DPR RI mendorong BI untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun.
Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDIP Said Abdullah mengatakan bahwa usulan mencetak uang tersebut masuk akal. Dia tidak khawatir akan terjadi inflasi yang besar.
“Kalau cetak uang Rp 600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Hitungan kami kalau BI cetak Rp 600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp 600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%? Dari mana hitungannya,” kata Said dikutip dari detik.com, Kamis (7/5/2020).
Menanggapi isu tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo sudah mengatakan bahwa pencetakan uang untuk menambah likuiditas tidak tepat dilakukan. “Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim, dan tidak akan dilakukan di BI,” ujar Perry saat memaparkan Perkembangan Ekonomi Terkini, seperti dikutip CNBC, Rabu (6/5/2020) pekan lalu.
Gubernur BI secara tegas menyatakan tidak akan mencetak uang, bahkan MMT sendiri sudah banyak ditentang oleh tokoh-tokoh finansial dunia termasuk ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell.
Cetak uang oleh bank sentral sebenarnya bukan hal baru. Pada awal tahun 2019 lalu di AS sudah muncul diskusi agar The Fed menerapkan MMT. Powell saat itu menyatakan MMT adalah suatu hal yang salah.
Di luar MMT, bank sentral di banyak negara, termasuk Bank Indonesia sebenarnya sudah “mencetak uang”. Hingga saat ini BI sudah “mencetak uang” lebih dari Rp 500 triliun untuk menambah likuiditas di pasar yang sedang mengetat akibat roda perekonomian yang melambat bahkan nyaris berhenti berputar.
Istilah “mencetak uang” disini bukan benar-benar mencetak uang fisik (kertas dan logam) melainkan menambah suplai uang ke perekonomian. Patut diingat, penambahan suplai tersebut juga tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk simpanan perbankan.
Adalah Muhammad Misbakhun yang pertama kali menggagas agar BI mencetak uang. Dia pun tidak khawatir terhadap risiko inflasi yang dinilainya juga kecil.
Hal ini memancing ekonom senior Rizal Ramli bersuara. Menurut Menko Perekonomian itu, mencetak uang di saat ini sangat riskan apalagi bila pemerintahannya tidak kredibel. Justru hal itu akan memunculkan praktik seperti BLBI yang sangat menghebohkan itu.
Bahkan, kata Rizal Ramli, bila BI mencetak uang, maka nilai rupiah bisa anjlok hingga Rp20 ribu. Dan hal ini tentunya sangat membahayakan perekonomian negara.
“Itu komentar ngawur. Dasar anak TK (istilah Gus Dur untuk anggota DPR). Itu bukan cetak uang (Rp 500 triliun, red.). Itu total intervensi BI di pasar valuta sampai Mei 2020. Sebagian cadangan devisa itu dari duit utang,” ujar bang RR, panggilan akrab Rizal Ramli.
Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan, bahwa usulan mencetak uang itu merupakan double kekonyolan. “Double konyol: Gub BI sudah menolak cetak uang via recovery atau pandemic bonds. Menkeu juga menolak, eh..eh DPR menyetujui. Dasar,” ujarnya.