Tulisan sebelumnya berjudul Quantitative Easing (QE) ala Indonesia Wujud Pembegalan Konstitusi. Karena ‘QE ala Indonesia’ sebenarnya bertentangan dengan undang-undang (UU) tentang Bank Indonesia (BI). Dan juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang menjadi sumber hukum yang menugaskan BI harus independen. Wujud independensi dituangkan dalam bentuk peraturan yang melarang BI membeli surat utang negara kecuali di pasar sekunder. Artinya tidak boleh beli di pasar primer atau pasar perdana.
Peraturan larangan ini diterabas, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 tahun 2020 (Perppu 1/2020). Alasannya, pemerintah sedang butuh uang untuk memberi stimulus ekonomi akibat pandemi Covid-19. Butuhnya banyak sekali. Ratusan bahkan ribuan triliun rupiah.
Dan hanya BI yang mempunyai uang sebegitu banyak. Karena tinggal ‘cetak uang’ saja. Tanpa perlu persetujuan DPR. Tanpa ada pengawasan. Karena semua peraturan persetujuan dan pengawasan DPR juga sudah diterabas di Perppu 1/2020. Sehingga, kekuasaan pemerintah bersama BI menjadi sangat besar sekali. Menjadi kekuasaan absolut dalam bidang anggaran dan keuangan. Pemerintah bersama BI bisa mengeluarkan uang tanpa batas. Kapan saja. Dengan jumlah berapa saja.
Tidak bisa dibantah, pandemi Covid-19 membuat ekonomi terpuruk. Untuk itu diperlukan stimulus ekonomi. Semua pihak setuju. Ada dua bidang dalam stimulus ekonomi: stimulus fiskal dan stimulus moneter. Stimulus fiskal untuk mengatasi penanganan kesehatan, membantu warga negara yang kehilangan pendapatan, dan membantu perekonomian nasional. Stimulus moneter untuk menurunkan suku bunga dan membantu likuiditas perekonomian nasional yang sedang menyusut. Stimulus fiskal menjadi tanggung jawab pemerintah. Stimulus moneter menjadi tanggung jawab BI. Keduanya harus bekerja secara independen.
Stimulus moneter seharusnya mengikuti kebijakan moneter yang profesional. Jangan sampai Bank Indonesia dianggap sebagai bank sentral yang tidak kredibel.
Untuk stimulus moneter, pertama, BI dapat menurunkan suku bunga acuan untuk meringankan biaya bunga. Sehingga bisnis dan perorangan tidak dibebani bunga lagi. Kedua restrukturisasi pinjaman dengan penjadwalan ulang cicilan. Kedua faktor ini sudah membantu bisnis dan perorangan dari ancaman bangkrut. Karena tidak ada beban bunga dan beban cicilan (untuk beberapa watu kedepan) yang akan jatuh tempo.
Kedua, BI bisa membeli surat utang negara di pasar sekunder. Tujuannya selain membuat suku bunga turun, sekaligus untuk membanjiri likuiditas ke pasar yang lagi kekeringan. Para pengusaha, bank, lembaga keuangan nonbank, dan korporasi saat ini masih memiliki surat utang negara dalam jumlah cukup besar. Tetapi mereka tidak bisa menjualnya karena pasar lagi kekurangan likuiditas.
Total (surat) utang negara saat ini ada sekitar Rp 5.000 triliun. Anggap saja 40 persen dimiliki oleh investor domestik. Atau sekitar Rp 2.000. BI tinggal menawarkan untuk menyerap surat utang negara tersebut. Money supply bertambah Rp 2.000 triliun. Pasar akan kembali bergairah. Suku bunga akan turun.
Cara ini adalah cara profesional yang dilakukan bank sentral di dunia. Sedangkan ‘QE ala Indonesia’, atau BI membeli surat utang negara di pasar primer, adalah cari primitif. Cara yang membahayakan perekonomian nasional. Cara yang tidak bertanggung jawab.
Mengenai stimulus fiskal, biar pemerintah mencari solusi sendiri. BI tidak perlu ikut campur, karena itu domain kebijakan fiskal. Kalau pemerintah memerlukan tambahan anggaran, sepanjang disetujui DPR, silakan cari di market. Jangan cari di BI. Market sudah kebanjiran likuiditas, bisa menyerap tambahan anggaran dan tambahan utang yang diperlukan. Kalau cuma Rp 400 triliun saja, tidak ada masalah sama sekali. Toh nantinya surat utang ini bisa diserap lagi oleh BI.
Saran ini diberikan untuk menjawab mereka yang berpendapat ‘QE ala Indonesia’ cuma satu-satunya cara untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Pendapat yang menyesatkan. Pendapat yang akan menjerumuskan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Semoga saran gratis ini bisa diterima. Agar BI menjadi lembaga yang kredibel. Dan independen.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)