“Tulisan ini sengaja saya buat meskipun dianggap sampah. Setidak-tidaknya tulisan ini sebagai bukti bahwa ada anak bangsa yang juga ikut berteriak kencang untuk mengingatkan pemerintah atas adanya potensi besar ancaman krisis pangan disaat berjangkitnya wabah Corona, yang mana tidak bisa prediksi kapan berakhirnya. Tulisan ini juga menawarkan sebuah solusi ke Pemerintah tentang langkah-langkah extra ordinary yang terukur agar Indonesia selamat dari petaka krisis pangan.”_
*Hoax atau Fakta Potensi Krisis Pangan?*
Presiden pertama RI Soekarno pernah menegaskan, bahwa urusan pangan adalah urusan hidup mati rakyat. Dunia yang sekarang sedang dilanda wabah Corona, urusan pangan harus menjadi perhatian maha utama. Dalam sejarah peradaban manusia mencatat bahwa disetiap ada peristiwa berjangkitnya wabah penyakit selalu diiringi terjadinya kelaparan.
Pertanyaan mendasar, apakah benar bahan pangan kita tetap terjamin aman tersedia sepanjang masa wabah Corona berlangsung? Apakah berbagai komoditas bahan pangan masih tetap aman berproduksil untuk mengisi stok selanjutnya?
Jika 2 hal itu tidak ada masalah, ya sudah. Kita santai saja. Kita tidak usah kuatir apalagi panik akan terjadi krisis pangan. Pemerintah cukup fokus saja pada upaya penanganan jaminan sosial ke masyarakat yang terdampak wabah Corona.
Bagi rakyat yang kritis cukup mengkritisi, apakah metode program yang dibuat pemerintah sudah jitu dan penyalurannya sudah tepat, merata dan adil ke tengah masyarakat?
Silahkan, pemerintah tangkap-tangkapin masyarakat dan membredel media-media yang menganalisis Indonesia terancam krisis pangan. Kapan perlu kerahkan para buzzer untuk membully mereka sehina-hinanya dan cap sebagai barisan sakit hati.
Jangan lupa juga, pejabat pemerintah lakukan gugatan ke Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang telah menakuti-nakuti Presiden RI akan terjadi potensi krisis pangan dunia di bulan April dan Mei ini. FAO patut digugat karena telah melakukan fitnah keji, sementara pasokan bahan pangan Indonesia masih aman dan tidak akan terjadi krisis pangan seperti dihembuskan.
Jika tidak, mari kita jujur melihat ketahanan pangan Indonesia secara bersama demi menyelamatkan bangsa kita dari ancaman krisis pangan atas dampak wabah Corona yang telah merusak berbagai aspek fundamental kehidupan?
Ayo kita bedah satu per satu ketahanan pangan Indonesia dengan teliti lagi agar kita tidak salah melihat fakta dan tidak sesat mengambil tindakan. Jika salah buat keputusan, tak hayal petaka besar akan menimpa bangsa ini dalam masa wabah Corona.
Misalnya, stok susu balita. Untuk memenuhi kebutuhan susu buat 5 juta balita, stok yang tersedia untuk 36 hari sampai masuk stok kebutuhan selanjutnya. Karena masyarakat tidak tahu fakta sebenarnya lalu terjadi pemborosan konsumsi, sehingga susu habis selama 30 hari. Untuk 6 hari selanjutnya terjadi krisis susu. Sebenarnya hal itu bisa diantisipasi bila pendataan dan perencanaan yang tepat, seperti memberi tahu ke masyarakat untuk melakukan penghematan.
Ada 2 parameter mengukur ketahanan pangan Indonesia selama wabah Corona berlangsung, apakah aman atau krisis? _Pertama,_ kemampuan jangka waktu stok pangan dikonsumsi _(barang out)_
Di masa wabah Corona yang tidak tahu kapan berakhirnya, kita mesti hitung kembali dengan akurat semua stok bahan pangan baik berada di Bulog maupun di pasar lepas (seperti beras, jagung, ikan, daging, telur, cabe, sayur-mayur, minyak goreng, bawang, garam, gula dan berbagai bahan pendukung lainnya).
Menghitung sampai berapa lama stok pangan kita mampu tersedia dengan aman untuk memenuhi kebutuhan 271 juta lebih penduduk Indonesia selama wabah berlangsung. Menghitung jangka waktu stok habis, supaya kita bisa membuat perencanaan masuknya pasokan stok baru sebelum habis?
Berdasarkan data yang dirilis oleh Menteri Pertanian pada pertengahan bulan Maret kemarin mengklaim bahwa pasokan ketersediaan pangan strategis nasional aman sampai bulan Agustus 2020.
Dalam laporan tersebut, stok ketersediaan 11 komoditas bahan pokok pangan terlihat masih berlebih dari kebutuhan konsumsi terhitung dari bulan Maret sampai bulan Agustus. Dilaporkan bahan pangan beras ketersediaan sebanyak 25.653.591 ton, sedangkan kebutuhan konsumsi dari bulan Maret sampai Agustus hanya sebesar 15.099. 846 ton. Daging ayam ras ketersediaan sebesar 2.063.086 ton, sedangkan kebutuhan 1.737.216 ton. Begitu juga komoditas lainnya seperti jagung, cabai, minyak goreng, bawang merah dalam kondisi stok cukup sampai bulan Agustus bahkan berlebih.
Jika data ini jujur, berarti sampai bulan Agustus, Indonesia aman dari krisis pangan. Saya amati di pasar ternyata tidak ada kelangkaan barang meskipun ada beberapa bahan pokok terjadi kenaikan harga ditengah wabah Corona sudah hampir 3 bulan lebih melanda Indonesia. Artinya, seboros-borosnya masyarakat mengkonsumsi bahan pangan, tidak akan berkekurangan sampai bulan Agustus.
_Parameter kedua,_ keberlangsungan pasokan pangan tetap ada tersedia _(in)._ Parameter ini untuk mengukur kemampuan ketersediaan pangan tetap kontinue terpasok dalam mengantisipasi kehabisan stok paska Agustus nanti.
Adalah kekeliruan besar jika hanya menghitung stock yang ada pada saat sekarang saja, tetapi tidak berhitung akan ketersediaan kembali pangan masuk _(in),_ agar stok tetap terjamin aman pada bulan-bulan selanjutnya.
Analisis kritisnya adalah darimana kita mendapatkan pasokan bahan pangan untuk selanjutnya? Apa langkah-langkah akan dilakukan?
Biasanya ketersediaan barang tetap ada kembali didapat dari hasil produksi sendilri dan impor. Makin tinggi hasil produksi sendiri, makin mandiri daerah tersebut. Makin tinggi disuplay dari impor, makin tinggi ketergantungan pasokan dari negara luar.
Dari berbagai laporan, produksi pangan dalam negeri selama ini (sebelum wabah Corona) termasuk kategori kurang mencukupi. Meski Indonesia adalah negara agraris dan negara maritim bukan berarti kita sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri.
Pasokan komoditas bahan pangan Indonesia sangat disuport dari negara luar (import) agar ketersediaannya tercukupi. Bahkan ada beberapa komoditas pangan ketergantung impor sampai 95%.
Sekarang mari kita bedah satu per satu kondisi komoditas pokok pangan Indonesia untuk mengetahui ketersediaan barang yang selama ini memenuhi kebutuhan rakyat, baik didapat dari hasil produksi sendilri maupun impor (pasokan dari negara luar) :
*Beras*
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa produksi beras Indonesia tahun 2019 berada di kisaran 31,31 juta ton, sedangkan kebutuhan beras sebesar 29,6 juta ton per tahun. Sementara
Dari data tersebut meski ada surplus, tetapi impor beras sangat tinggi memasok kebutuhan Indonesia. BPS mencatat pada Oktober 2019, ketergantungan impor beras dari Vietnam sebesar 767.180,9 ton dan dari Thailand 795.600,1 ton. Pada tahun 2018, Pakistan pun tercatat sebagai pengimpor beras ke Indonesia berkisar 281.000 ton.
Berdasarkan laporan Kementerian Pertanian, bahwa ketersediaan beras sebesar 25.653.591 ton, sedangkan kebutuhan konsumsi sampai Agustus sebesar 15.099. 846 Ton. Artinya stok beras sampai Agustus 2020 adalah aman dan bahkan masih ada sisa 10 juta ton lebih.
Kementan juga melaporkan bahwa pada bulan April – Mei 2020 sedang berlangsung panen raya beras menambah pasokan untuk beberapa untuk bulan selanjutnya. Kementerian Pertanian memprediksi produksi beras mencapai 12 juta ton.
Kabar baiknya, jika panen raya berjalan mulus dan daerah-daerah penghasil beras steril dari virus Corona, maka hasil produksi beras sebesar 12 ton tersebut bisa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sampai 5 bulan kedepan, yakni Januarir 2021. Artinya, krisis pangan hanya level waspada. Pemerintah cukup menjaga daerah-daerah penghasll beras tersebut tetap steril dari penularan virus Corona agar produksi tetap normal.
Kabar buruknya, jika prediksi panen raya meleset karena disebabkan faktor alam dan daerah-daerah penghasil beras tersebut diserang wabah Corona yang membuat petani tidak bisa berproduksi. Maka paska Agustus 2020 akan terjadi petaka krisis pangan beras kategori sangat bahaya (level merah).
Seandainya, desa-desa penghasil beras diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sehingga terjadi penurunan hasil panen sebesar 50%, yaitu turun menjadi 6 juta ton. Maka ketersediaan stok beras cuma bisa untuk mencukupi untuk jangka waktu 2 bulan, yakni sampai Oktober (terhitung habis stok Agustus 2020). Panen bisa ditunggu lagi Agustus – September untuk memenuhi kebutuhan Oktober – Desember 2020.
Jika pemerintah lalai melakukan perencanaan dari sekarang dan tidak berhemat maka pada *April 2021* akan terjadi krisis beras kategori bahaya (level merah), apabila wabah masih terus berlangsung.
Tentang langkah pemerintah melakukan impor untuk memenuhi kontinuitas ketersediaan beras nasional merupakan langkah yang tidak masuk akal.
Saya menyakini, negara-negara pensuplai akan berpikir seribu kali untuk memasok bahan pangannya ke Indonesia pada saat kondisi sekarang. Mereka pasti lebih mengutamakan stok ketersediaan pangan negaranya daripada negara lain. Apalagi masa wabah Corona ini tidak bisa diprediksi berapa lama akan berlangsung melanda negaranya dan dunia.
Terbukti, Vietnam mengambi langkah memprioritaskan pada ketahanan pangan dalam negerinya dibandingkan mengekspor produksi pangannya ke negara lain, termasuk Indonesia. Dalam keterangan resminya, Vietnam fokus mencadangkan 270.000 ton beras dan 80.000 ton gabah untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya selama pandemi corona. Untuk itu, Kementerian Keuangan Vietnam telah memutuskan menunda perjanjian ekspor beras guna memenuhi cadangan dalam negerinya.
Asosiasi Eksportir Beras Thailand mengatakan pada Rabu (12/02/2020) bahwa Thailand terjadi penurunan target ekspor ke negara lain. Ini disebabkan dampak dari sejumlah faktor seperti kekeringan dan fluktuasi nilai tukar mata uang serta penulran wabah di negaranya.
Menteri Perdagangan RI pada tanggal 5 April kemarin juga telah mengakui bahwa importasi beras dalam beberapa waktu ke depan bakal sulit dilakukan. Ia menyatakan negara asal yang biasa menyuplai beras saat Indonesia membutuhkan impor juga tengah mengalami kesulitan pasokan.
*Jagung*
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan dan Kementan bahwa kebutuhan total penggunaan jagung 15,5 juta ton – 17 juta ton per tahun. Sedangkan klaim hasil produksi jagung nasional 29 juta ton.
Meskipun diklaim surplus, faktanya pasokan jagung dari impor masih relatif besar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) volume Impor Jagung sepanjang Januari-Juni 2019 mencapai 580 ribu ton. Pada 2018 mencapai 737.228 ton dari tiga negara, yakni Argentina sebanyak 326.580 ton, Brasil sebesar 222.578 ton, dan Amerika Serikat sebesar 186.142 ton.
Berdasarkan laporan Kementerian Pertanian, bahwa ketersediaan jagung 13.741.071 ton, sedangkan kebutuhan 9.096.555 ton. Artinya, stok ketersediaan jagung adalah aman sampai Agustus.
Kementerian Pertanian (Kementan) memperkirakan, produksi jagung akan mencapai 9,3 juta ton selama masa panen yang berlangsung pada Maret hingga April 2020.
Kabar baiknya, jika panen raya tidak gagal dan daerah-daerah penghasil jagung masih steril dari virus Corona, maka hasil produksi jagung sebesar 9,3 juta ton tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan 6 bulan kedepan, yakni Februari 2021. Artinya, krisis pangan jagung hanya level waspada. Pemerintah cukup menjaga daerah-daerah penghasll jagung tersebut tetap steril dari penularan virus Corona agar produksi tetap normal.
Kabar buruknya, jika prediksi panen raya jagung ini meleset karena disebabkan oleh faktor alam dan penularan virus Covid-19 berjangkit di daerah-daerah penghasil jagung tersebut, sehingga petani tidak bisa panen. Maka paska Agustus 2020 akan terjadi petaka krisis pangan jagung kategori bahaya (level merah).
Seandainya diterapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sehingga terjadi penurunan hasil panen sebesar 50%, yaitu turun menjadi 4,5 juta ton. Maka stok ketersediaan jagung cuma bisa untuk mencukupi sampai November 2020 (terhitung stok habis Agustus). Panen bisa ditunggu lagi Mei – Juni untuk memenuhi Desember 2020 – Februari 2021.
Dari simulasi saya buat, dampak dari diberlakukan PSBB di daerah-daerah penghasil jagung hanya meninbulkan kategori waspada (tidak bahaya). Meskipun begitu, jika pemerintah tidak hati-hati menjaga keberlangsungan produksi jagung, maka dapat berubah menjadi krisis jagung kategori darurat (level kuning).
Sedangkan langkah pemerintah berharap impor jagung dari negara lain tipis kemungkinannya. Argentina sebagai negara penghasil jagung terbesar di dunia juga dalam dilanda kondisi parah oleh wabah virus Corona. Presiden Alberto Fernández mengumumkan bahwa penutupan akan diperpanjang di kota-kota besar hingga 26 April dan kecenderungan kembali diperpanjang.
*Bawang Putih*
Menurut data BPS, kebutuhan bawang putih Indonesia mencapai 500 ribu ton per tahun, sedangkan produksi bawang putih dalam negeri cuma mampu memproduksi sekitar 39 ribu ton per tahun.
China merupakan importir utama untuk komoditas bawang putih mencapai 99% dari kebutuhan. China memasok sekitar 465.000 ton pada 2019.
Cina pun menstop ekspor bawang putih ke negara-negara lain. India sebagai negara pengekspor bawang putih juga sedang tertimpa dahsyat oleh wabah virus Covid-19 dan lagi lockdown.
Adapun panen lokal bawang putih di beberapa daerah, itu tidak signifikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Krisis bawang putih kategori bahaya (level merah) adalah nyata terjadi dalam waktu dekat ini. Kecuali negara China mau berbaik hati mau mengekspor bawang putih ke Indonesia.
*Gandum*
Tak kalah penting, salah satu pangan utama manusia adalah gandum. Proporsi gandum terhadap pangan pokok kita saat ini sekitar 21,62% dari total konsumsi pangan di Indonesia.
Pemakaian gandum dimasyarakat merupakan makanan pokok kedua setelah beras. Gandum sudah menyebar merata disetiap lapisan masyarakat mulai dari roti, mie, kue, snack, bahkan gorengan yang dijual di kaki lima.
Saat ini Indonesia tergantung pada impor gandum juga, kita nett importer 100%. Artinya nyaris nol produksi gandum di negara kita.
Laporan dari Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) menunjukkan bahwa impor gandum dari Juli 2015 sampai Mei 2016 telah mencapai total 8,2 juta ton. Sedangkan sepanjang 2016 mencapai 8,71 juta ton. Impor gandum tahun ini ditaksir meningkat antara 5-6 persen hingga 8,79 juta ton.
Berdasarkan data yang dikutip dari website USDA (United Stated Department of Agriculture), produksi gandum di dunia sebanyak 752,69 juta metrik ton dalam setahun. Negara penghasil Gandum terbanyak di dunia ini adalah Uni Eropa yang terdiri dari 27 Negara Eropa. Uni-Eropa berhasil memproduksi gandum sebanyak 144,32 juta metrik ton atau sebesar 19,17% dari keseluruhan hasil produksi gandum di dunia. Berada di urutan kedua sebagai Negara Penghasil Gandum Terbesar di Dunia adalah China dengan jumlah produksi sebanyak 128,85 juta metrik ton. Jumlah Gandum yang diproduksi oleh China tersebut merupakan 17,12% dari total produksi gandum di dunia. India menempati posisi ketiga sebagai Negara Penghasil Gandum Terbesar di Dunia dengan jumlah produksinya sebanyak 90 juta metrik.
Berdasarkan data dari dari USDA tersebut, negara-negara penghasil gandum, ternyata surplus tidak begitu signifikan. Artinya, disaat wabah Corona melanda dunia, negara produsen gandum akan berpikir ulang seribu kali juga untuk mensuplai ke negara lain .
Dari beberapa informasi, stok gandum Indonesia mencukupi sampai Oktober 2020. Artinya, krisis gandum adalah nyata setelah stok habis di bulan *Oktober 2020 nanti.*
*Daging Ayam Ras*
Badan Ketahanan Pangan (BKP) menyebut kebutuhan daging ayam ras selama 2019 mencapai 3,3 juta ton dengan konsumsi 12,13 kg/kapita/tahun. Sedangkan produksi daging ayam ras sebesar 3,83 juta ton. Kita asumsikan kebutuhan daging ayam ras selama wabah tetap 3,3 juta ton.
Adapun import hanya berkisar 76,4 ton (2018) diakibatkan lantaran kalah dalam gugatan yang diajukan oleh Brasil di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO)
Meskipun surplus 2019 kemarin, namun terancam langka. Hal ini diakibatkan oleh harga ayam ras pedaging baik boiler dan layer jantan yang jatuh yakni Rp 6000-Rp 8000 per kg di tingkat peternak. Sedangkan biaya produksi sebesar Rp18.500 hingga Rp19.000/kg.
Sementara, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) melansir, rata-rata harga daging ayam ras di tingkat konsumen sebesar Rp 28.450 per kg.
Anjlok harga daging ayam ras dikarenakan over produksi. Produksi ayam pedaging nasional mencapai 80 juta ekor/minggu, sementara kebutuhan nasional hanya 60 juta ekor/minggu. Kelebihan produksi (over produksi) inilah yang menjadi awal masalah. Kondisi tersebut diperparah imbas wabah Virus Corona yang membuat pasar lumpuh.
Kabar buruknya, jika peternak mengosongkan kandangnya, maka krisis daging ayam ras akan menjadi nyata.
Kabar baiknya, jika pemerintah bertindak cepat mengamankan harga ayam ras di tingkat peternak maka Indonesia bisa lepas dari ancaman krisis daging ayam ras, bahkan bisa membantu negara lain (ekspor).
Jika PSBB diberlakukan di daerah-daerah penghasil ayam sehingga menimbulkan kapasitas produksi turun 50%, Indonesia masih terhindar dari krisis daging ayam ras.
*Telur*
Produksi telur ayam ras rata-rata mencapai 2,8 juta ton per tahun. Sedangkan kebutuhan telur per tahun 1,72 juta ton per tahun.
Ancaman krisis telur berbanding lurus dengan kasus daging ayam ras. Artinya, jika terjadi krisis daging ayam ras maka telur pun akan ikut krisis.
*Daging Sapi/Kerbau*
Konsumsi daging nasional diperkirakan mencapai 707.150 ton per tahun. Sedangkan produksi daging nasional dipatok di angka 422.533 ton. Untuk memenuhi kekurangan (defisit) sebesar 284.617, pemerintah menggunakan pasokan daging impor untuk memenuhi kebutuhan tersebut dari negara Brazil.
Sementara kebutuhan daging sapi atau kerbau hingga lebaran diperkirakan sebesar 302.300 ton.Adapun ketersediaan daging sapi atau kerbau sampai Mei 2020 berdasarkan produksi dalam negeri sebesar 165.478 ton. Berdasarkan data tersebut, masih diperlukan tambahan sebanyak 136.822 ton.
Untuk memenuhi kekurangan daging sapi atau kerbau tersebut melalui impor daging sapi atau kerbau sebesar 103.043 ton dan sapi bakalan 252.810 ekor atau setara 56.659 ton daging. Hal tersebut berdasarkan kondisi realisasi impor per 5 Maret 2020.
Untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi/kerbau setelah lebaran dari pasokan impor sudah dapat dipastikan terancam gagal.
Produsen sapi di Brazil tak luput dari pandemi wabah Corona maka tipis kemungkinan mau mengekspor kembali ke Indonesia. Brazil adalah salah satu negara paling parah dilanda virus Covid-19. Krisis pangan pun tak luput mengancam warga Brazil.
Sedangkan berharap impor dari India, adanya risiko kesehatan berupa penyakit kuku dan mulut (PMK) pada sapi/kerbau di negara tersebut. Selain itu, India pun sekarang lagi melockdown negaranya dari penyebaran virus Covid-19.
Jika di desa-desa produksi sapi/kerbau diperparah terjadinya penyebaran virus dan diberlakukan PSBB sehingga produksi turun 50%. Daging/Sapi tersedia hanya mencapai 20 ribu ton per bulan, sedangkan kebutuhan 60 ribu ton per bulan.
Krisis daging sapi/kerbau memiliki potensi besar melanda Indonesia di bulan Juli 2020. Krisis daging yang akan terjadi adalah kategori bahaya (level merah).
*Cabai*
Berdasarkan catatan Kementan, kebutuhan konsumsi cabai rata-rata nasional berada di kisaran 1,296 juta – 1,320 juta ton per jenis cabai per tahun. Sedangkan tingkat produksi tercatat berada di level 1,620 juta ton per jenis cabai per tahun.
Meskipun surplus, Indonesia juga mengimpor cabai dan produk-produk turunannya dari China. Tidak terlalu besar, karena produk dalam negeri sudah relatif mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.
Berdasarkan laporan Kemeterian Pertanian, bahwa stok cabai besar 657.467 ton, sedangkan kebutuhan sampai Agustus sebesar 551.261 ton. Artinya sampai Agustus ketersediaan cabai adalah aman.
Melihat trend produksi dan konsumsi cabai setiap musim panen adalah selalu surplus. Kabar baiknya, jika produksi tetap normal selama wabah berlangsung tidak aksn terjadi krisis meskipun tidak ada impor.
Kabar buruknya, jjka di desa-desa produksi caba diberlakukan PSBB disebabkan penyebaran virus tinggi sehingga hasil produksi turun hingga 50%, maka krisis cabai pun akan melanda Indonesia karena surplus cabai Indonesia cenderung dibawah 20%.
Minyak Goreng
Perihal komoditas minyak goreng, Indonesia merupakan negara produsen terbesar di dunia, maka pemenuhan kebutuhan minyak goreng nasional berpotensi aman keberlangsungannya.
Kebutuhan minyak goreng secara nasional mencapai 3 juta ton per tahun. Pada 2019 produksi minyak sawit Indonesia sebesar 51,8 juta ton, dimana ekspornya sebesar 36,17 juta ton.
Seandainya di desa-desa produksi minyak sawit diberlakukan PSBB disebabkan penyebaran virus tinggi sehingga hasil produksi turun hingga 50%, Indonesia aman dari ancaman badai krisis minyak goreng.
Gula Pasir
Konsumsi gula orang Indonesia termasuk tinggi. Menurut data United States Department of Agriculture (USDA), berdasarkan laporan penggunaan gula untuk penduduk Indonesia tahun 2018, asupan gula penduduk Indonesia sebanyak 11,47 kg per orang per tahun. Diolah dari berbagai sumber, kebutuhan gula untuk konsumsi dan industri mencapai 6.6 juta ton per tahun.
Kemenperin mencatat, produksi gula berbasis tebu pada 2018 sebesar 2.17 juta ton. Di tahun 2020, produksi gula diprediksi merosot dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu hanya mencapai 2,0 – 2,1 juta ton akibat musim kemarau panjang yang terjadi di tahun 2019.
Stok sisa dari tahun 2019 hanya menjapai 1.084 ton untuk memenuhi kebutuhan hingga April.
Jika produksi gula yang terjadi pada bulan Maret hingga Mei hanya sekitar 2 juta ton, maka akan terjadi defisit gula sebanyak 1,2 juta ton lantaran konsumsi diprediksi mencapai 3,2 juta ton.
Untuk menutupi defisit gula sebesar 2.8 juta – 3.6 juta ton berharap dipasok dari negara Thailand dan Australia pada saat ini merupakan hal yang mustahil. 2018, Impor dari Thailand penyumbang paling besar hingga 80,3%.
Namun impor gula dari Thailand pada bulan pertama tahun ini anjlok 60,4%. Ada indikasi impor gula bulan selanjutnya dari Thailand juga akan terganggu, mengingat jumlah kasus infeksi Covid-19 di Thailand bertambah banyak. Hal ini membuat pemerintah Thailand menjadi lebih ketat dalam mengatur bandara dan pelabuhannya sebagai salah satu pintu masuk wabah. Kini pemerintah Thailand secara ketat melaksanakan protokol surveilance di enam pelabuhan di Bangko, Laem Chabang, Chiang Saen, Phuket, Samui dan Krabi.
Krisis gula sudah diambang kenyataan. Krisis ini akan semakin parah jika diberlakukan PSBB disentra-sentra produksi tebu di Indonesia.
Garam
Tiap tahun rata-rata orang Indonesia mengonsumsi garam sekitar 3,5 kilogram (kg). Pada 2019 kebutuhan garam nasional 4,2 juta ton. Penggunaan garam selain sebagai bahan konsumsi juga dipergunakan untuk kepentingan industri.
Dihimpun dari berbagai sumber, produksi garam nasional pada 2019 berkisar 2,3 juta – 2,7 juta ton. Pasokan garam dari impor mencapai 2,9 juta ton dari lima negara pengimpor garam yaitu Australia, India, Selandia Baru, Denmark, dan Singapura.
Kebutuhan garam konsumsi rakyat berkisar antara 1,1 – 1,5 juta ton. Sementara itu, kebutuhan Garam Industri mencapai 2,9 juta ton.
Berdasarkan data diatas, bahwa Indonesia relatif aman dari krisis garam konsumsi, meskipun diberlakukan PSBB di daerah-daerah penghasil garam rakyat sehingga menyebabkan hasil produksi turun 50%. Produksi garam rakyat masih bisa mencukupinya. Karena kebutuhan hanya berkisar 1,1 – 1,5 juta ton, sedangkan produksi berkisar 2,3 juta – 2,7 juta ton.
Krisis garam akan terjadi pada garam industri untuk memenuhi kebutuhan farmasi, kosmetik, tekstil, dan sebagainya.
Negara eksportir garam industri sedang dilanda wabah Corona, sehingga melumpuhkan aktivitas perdagangan dan mata rantai pasokan global.
Kesimpulan :
Berdasarkan analisis sederhana yang saya uraikan diatas, ancaman krisis pangan sangat nyata ada di depan mata kita. Ancaman krisis pangan bukan hoax atau paranoid.
Beberapa komoditas bahan pangan (gula, bawang putih dan daging sapi/kerbau) sudah mulai berangsur menipis dan tidak tahu lagi kapan tersedia kembali ditengah dunia sedang dilanda wabah Corona,
Beras, jagung, cabai, daging ayam ras, dan telur tak berapa lama akan terancam krisis jika di desa-desa penghasil pangan tidak dikawal ketat steril dari virus Covid-19. Apabila di desa-desa jebol dan terjadi pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), maka krisis pangan tak terelakkan lagi.
Pemerintah harus segera _move on_ melihat kondisi sekarang, bahwa dunia sekarang benar-benar lagi dilanda bencana yang menghancurkan semua aspek fundamental kehidupan manusia. Mindset berpikir pemerintah harus dirubah dari kondisi normal menjadi kondisi bencana. Langkah-langkah _extra ordinary_ sangat dibutuhkan, bukan lagi cara-cara normatif pada saat kondisi dunia normal.
Sebuah kebodohan jika kita tidak membuat langkah langkah extra ordinary ketahanan pangan pada saat wabah Corona berjangkit sekarang dimana tidak tahu kapan berakhirnya. Petaka krisis pangan tidak bisa terelakkan lagi menimpa Indonesia karena akibat kebodohan kita dan lalai membuat rencana dari sekarang.
Impor bukanlah solusi yang tepat untuk mendapatkan pasokan pangan pada saat sekarang ini.
Kita harus desain dari sekarang langkah untuk bisa menjamin ketersediaan pangan agar tetap ada selama masa wabah Corona yang tidak bisa diprediksi jangka waktu berakhirnya wabah ini.
Penting dibuat pendataan dan penghitungan akurat secara _real time_ agar terhindar dari petaka. Dari situlah, kita menyusun rencana untuk menjamin keberlangsungan proses produksi ataupun penghematan bahan pangan agar tetap tersedia untuk bulan-bulan selanjutnya yang mana tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya bencana wabah Corona.
Dengan acuan data yang valid, kita dapat menyusun langkah berupa penghematan dan penjadwalan ketersediaan barang kembali. Jika kita salah hitung beberapa hari saja dapat berakibat fatal. Salah buat perencanaan maka terjadi petaka. Maka sekecil apapun kemungkinannya harus kita hitung, dan kondisi seekstrim betapapun harus kita susun perencanaannya dengan matang.
Mumpung masih ada waktu dan mumpung masih ada stok pangan sampai Agustus. Pemerintah harus segera buat langkah antisipasi krisis pangan sebelum terlambat.
Saya siap dibayar 2 piring nasi per hari untu desain dan lakukan eksekusi di lapangan meminimalisir petaka kelaparan melanda bangsa Indonesia.
#KrisisPangan
Oleh : Aznil Tan (Direktur Eksekutif INFUDS/Indonesian Future Development Study)