ESENSINEWS.com, ROMA – Penutupan wilayah Italia untuk mengurangi penyebaran Covid-19 membawa dampak ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah negeri itu.
Itulah gambaran dari Lembaga Statistik Nasional Italia (ISTAT) terhadap situasi ekonomi negara tersebut, pada Selasa (07/4/2020) lalu.
Italia mulai ditutup tanggal 9 Maret oleh Perdana Menteri Guiseppe Conte.
Saat itu kementerian kesehatan mencatat 9.172 kasus positif virus corona dengan kematian sebanyak 463 jiwa.
Italia menjadi negara kedua di dunia – setelah Iran – yang memberlakukan penutupan seluruh teritori mereka.
Pada 22 Maret, Conte mengumumkan agar seluruh perusahaan di Italia yang melakukan “kegiatan produksi tidak penting” untuk tutup guna mengurangi jumlah orang di luar rumah, sehingga wabah tidak semakin menyebar.
Satu bulan sesudah penutupan pertama, ada sekitar 135.000 kasus dengan 17.000 kematian di Italia yang disebabkan virus corona.
Mereka juga menghadapi situasi ekonomi yang digambarkan para analis sebagai dramatis tanpa jalan keluar yang mudah.
Menurut data ISTAT, separuh perusahaan Italia serta 7,4 juta pekerja dalam keadaan tidak berproduksi.
“Jika ini berlanjut, Produk Domestik Bruto (PDB) Italia dalam enam bulan pertama tahun ini akan jatuh sebesar 10%, atau sekitar US$4,5 miliar,” kata Matteo Pignatti, ekonom pada Center for Confindustrial Studies (CSC).
Angka ini kurang lebih setara dengan seluruh PDB Bolivia.
Menurut hitungan CSC, ketiadaan produksi setiap minggunya “bisa mengurangi PDB hingga 0,75%”.
Italia, yang merupakan ekonomi terbesar ke delapan di dunia menurut IMF, akan mengalami pukulan ekonomi terbesar sejak Perang Dunia Kedua.
Namun dampak ini tidak sama di semua sektor. Menurut ISTAT, pariwisata, perdagangan dan transportasi merupakan yang paling terpukul.
“Virus corona telah menghapus lebih dari 50 tahun industri pariwisata” kata Vittorio Messina, presiden Assoturismo, organisasi yang memayungi puluhan ribu perusahaan di sektor pariwisata.
Menurut data Pengamat Turisme Nasional Italia (ONTIT), pariwisata menyumbang 13,2% dari keseluruhan PDB Italia.
Pariwisata juga mempekerjakan lebih dari 14% penduduk Italia, yaitu sekitar 3,5 juta orang.
“Kami mengalami situasi yang dramatis,” kata Messina. “Tahun lalu orang bicara tentang overtourism, yaitu dampak buruk kehadiran turis di sebuah wilayah.”
Hingga tahun 2019, Italia merupakan negara kelima terbesar di dunia untuk kedatangan wisatawan internasional, yaitu sekitar 60 juta orang, yang menghasilkan pendapatan sebesar 42.000 juta euro.
“Kini,” kata Messina, “masalah kami adalah zero tourism”.
Messina mengatakan bahwa pemesanan kamar di hotelnya seluruhnya dibatalkan. Ini serupa dengan hotel-hotel lain yang tergabung dalam organisasinya.
“Kita kembali seperti tahun 1960-an, ketika dunia masih terbagi blok Barat dan Timur, serta penerbangan masih merupakan kemewahan bagi banyak orang,” kata Messina yang juga melihat bahwa sektor pariwisata belum akan pulih hingga April 2021.
“Situasi darurat ini tak bisa dihentikan begitu saja. Sekalipun mungkin kita bisa kerja lagi musim panas nanti, keadaannya tidak seperti sebelumnya,” kata Maria Grazia Gabrielli, sekretaris serikat buruh pariwisata CGIL, yang terbesar di Italia.
Gabrielli memperhitungkan sekurangnya 450.000 orang pekerja musiman di sektor pariwisata akan kehilangan pekerjaan, seiring meningkatnya pengangguran di seluruh negeri.
Menurut perkiraan Confindustria, tingkat pengangguran saat ini 9,9% dan akan meningkat di akhir tahun hingga 11,1%.
Dampak ekonomi juga tidak sama untuk semua wilayah di Italia.
Lombardy, Veneto, Piedmont dan Emilia-Romagna yang terletak di utara Italia, tempat mayoritas industri berada, merupakan wilayah paling terdampak oleh karantina.
Namun tingkat pengangguran di Selatan sebelum pandemi ada di kisaran 18%, hampir tiga kali lipat dibanding utara. Kesenjangan ini dapat meningkat saat pemulihan ekonomi dijalankan.
“Masalahnya adalah keluar dari krisis secepat mungkin,” kata PM Giuseppe Conte, dan langkah pemerintah tampaknya mengarah ke sana.
Awal minggu ini, Conte mengaktifkan skema pinjaman perusahaan dengan nilai total US$435.000 juta. Sebelumnya pada bulan Maret pemerintah sudah mengucurkan 380.000 juta euro.
Secara keseluruhan, jumlahnya hampir setengah PDB Italia.
“Ini intervensi pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Conte.
Dana ini ditujukan untuk membiayai tunjangan pengangguran, serta membantu kesulitan perusahaan.
Dengan skema ini, mereka yang kehilangan pekerjaan karena harus tinggal di rumah, pemerintah menjamin 80% gaji mereka, selain bantuan kupon makanan bagi penduduk miskin dan warga yang butuh mencari perawat bayi.
Pekerja mandiri dan pekerja musiman seperti pedagang, pengrajin dan petani yang kehilangan pekerjaan, ada subsidi dari sistem jaminan sosial Italia (INPS) sebesar 600 euro.
Dalam beberapa hari saja, INPS menerima 3,6 juta permohonan.
Namun kebangkitan dan pembukaan lagi perusahaan masih belum pasti kapan akan dilakukan.
Saat ini, Conte baru mengumumkan adanya pembatasan pergerakan hingga tanggal 3 Mei.
Kelompok bisnis di Lombardy, Piedmont, Veneto dan Emilia Romagna, yang mewakili 45% dari PDB Italia, mendorong segera dimulainya lagi aktivitas ekonomi.
“Dalam jangka pendek, kegagalan melakukan ini akan menghentikan mesin ekonomi seluruh negeri dan risikonya akan sangat sulit untuk dihidupkan kembali”.
Namun masih banyak yang belum diketahui soal pencabutan pembatasan, apalagi dengan masih adanya sekitar 1.000 kasus positif per hari.
“Keputusan ini tidak bisa dibuat semata-mata dari kacamata ekonomi. Harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan pekerja,” kata Maurizio Landini sekjen serikat buruh CGIL.
Sekalipun ada perbedaan pendapat antara pengusaha dan serikat buruh, mereka sama mengharapkan adanya bantuan finansial dari lembaga keuangan Eropa.
PM Conte sempat mengungkapkan perlunya solusi Eropa bagi krisis ini, dan menyerukan adanya langkah kongkret semisal dikeluarkannya obligasi Eropa untuk menjamin likuiditas negara-negara yang ditimpa kesulitan parah.
Posisi Conte didukung oleh Spanyol dan Prancis, dan mendapat tentangan dari Jerman dan Belanda.
Sumber : BBC Indonesia