“Tolong jagalah perasaan umat mayoritas, jaga kerukunan.” Begitu kata mereka yang merasa sok mayoritas. Semenjak kapan, batasan mayoritas-minoritas menjadi tolok ukur hukum. Bukankah diksi atau kosakata mayoritas dan minoritas tidak boleh lagi digunakan di Republik ini, sebagaimana istilah pribumi dan non pribumi ? Saya kembali lagi malu sebagai orang Indonesia.

Lihat saja, banyak kasus pendirian dan pembangunan rumah ibadah dihalang-halangi dengan alasan ditakutkan mendangkalkan aqidah kelompok mayoritas. Rencana pembangunan Pura di Desa Sukahurip, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, ditolak warga salah satunya karena alasan ini.

Selain pembangunan Pura, yang tidak kalah marak adalah pelarangan pembangunan Gereja. Alasan sama juga dikemukakan, yakni ketakutan pendangkalan aqidah. Mirisnya, kasus-kasus pelarangan pendirian gereja juga menimpa gereja-gereja yang sudah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Apa yang terjadi di Gereja Katolik Paroki Santo Joseph, Tanjung Balai Karimun, Karimun, Kepulauan Riau adalah contohnya. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) No 0386/DPMPTSP/IMB-81/2019 tertanggal 2 Oktober 2019 yang sudah dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Karimun digugat oleh Aliansi Peduli Kabupaten Karimun ke PTUN Tanjungpinang pada 30 Desember 2019. Persoalan ini sekarang sudah masuk tahap persidangan.

Alasan-alasan si penolak terdengar absurd. Misalnya ketinggian gereja tidak boleh melebihi bangunan rumah dinas bupati. Begitu pula di halaman gereja tidak boleh ada ornamen salib dan Bunda Maria.

Belum lagi kasus pendirian gereja yang dipersulit, kasus penutupan hingga perusakan rumah ibadah, termasuk gereja banyak terjadi di negeri yang katanya toleran ini. Dilansir dari cnn.com, Jumlah pembakaran gereja mencapai 1.000 kasus pasca Indonesia melewati masa reformasi. Terakhir, terjadi pembakaran dua gereja oleh sekelompok orang tidak dikenal di Aceh Singkil pada Selasa siang (13/10).

Data yang dilansir dari cnn.com ini adalah data 2015. Sepanjang lima tahun ke depan, banyak lagi terjadi kasus penutupan, perusakan gereja yang terjadi di seantero Indonesia. Fakta-fakta menyedihkan ini sungguh membuat saya malu sebagai orang Indonesia.

Negara yang mestinya hadir, malah seringkali berat sebelah dan memihak kelompok mayoritas. Bahkan, Istilah mayoritas-minoritas sengaja dimunculkan untuk mengesankan bahwa pihak yang pertama disebut memiliki keunggulan dan kelompok terakhir tidak boleh berbuat apapun yang bisa mengganggu eksistensi kelompok pertama. Benarlah Deridda ketika menyatakan bahwa “dalam oposisi biner, apa yang disebut pertama kali selalu dianggap lebih unggul daripada berikutnya.”

Apapun alasannya, menganggu atau bahkan merusak rumah ibadah lain tidak dapat dibenarkan dari sudut manapun. Sayangnya, pelaku aksi-aksi persekusi semacam ini di tanah air dilakukan oknum-oknum ormas intoleran yang mengatasnamakan Islam. Ironisnya, Islam sendiri dengan sangat tegas melarang berbuat kerusakan di muka bumi.

Al-Qur’an nyata-nyata melarang umatnya mengganggu dan merusak tempat ibadah serta kegiatan ritual mereka. Hal ini terekam dalam Surah Al-Hajj ayat 40, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid.”

Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat itu cukup jelas menegaskan, syariat yang diberlakukan oleh Allah di muka bumi, telah melindungi tempat ibadah itu dari keganasan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Saya tidak akan bosan-bosannya mengetengahkan contoh yang diaktualisasi oleh Nabi sendiri. Dalam praktiknya, Nabi Muhammad Saw mengaktualisasi ayat ini kepada Umat Kristiani di Najran. Namun demikian pesan Nabi bukan hanya semata untuk umat Kristiani di lingkup geografis Najran, atau hanya berlaku pada masa perjanjian tersebut dibuat. Pesan Nabi adalah sunnah yang harus dilaksanakan umatnya sepanjang waktu.

Begini isi naskah Perjanjian Nabi Saw dengan Umat Kristiani Najran :

“Najran dan kelompoknya serta semua penganut agama Nasrani di seluruh dunia berada dalam perlindungan Allah dan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut harta benda, jiwa, dan agama mereka, baik yang hadir (dalam pertemuan ini) maupun yang gaib. Termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka, dan segala sesuatu yang berada dalam wewenang mereka, sedikit atau banyak.”

“Saya berjanji melindungi pihak mereka, dan membela mereka, gereja dan tempat-tempat ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta mereka, demikian juga tempat-tempat suci yang mereka kunjungi. Saya juga berjanji memelihara agama mereka dan cara hidup mereka—di mana pun mereka berada—sebagaimana pembelaaan saya kepada diri dan keluarga dekat saya serta orang-orang Islam yang seagama dengan saya. Karena saya telah menyerahkan kepada mereka perjanjian yang dikukuhkan Allah bahwa mereka memiliki hak serupa dengan hak kaum Muslim dan kewajiban serupa dengan kewajiban mereka.”

“Kaum Muslim pun berkewajiban seperti kewajiban mereka berdasar kewajiban memberi perlindungan dan pembelaan kehormatan sehingga kaum Muslim berkewajiban melindungi mereka dari segala macam keburukan dan dengan demikian mereka menjadi sekutu dengan kaum Muslim menyangkut hak dan kewajiban.”

“Tidak boleh uskup dari keuskupan mereka diubah, tidak juga kekuasaan mereka, atau apa yang selama ini mereka miliki. Tidak boleh juga dituntut seseorang atas kesalahan orang lain, sebagaimana tidak boleh memasukkan bangunan mereka ke bangunan masjid atau perumahan kaum Muslim. Tidak boleh juga mereka dibebani kezaliman menyangkut pernikahan yang mereka tidak setujui. Keluarga wanita masyarakat Nasrani tidak boleh dipaksa mengawinkan anak perempuannya kepada pria kaum Muslim.”

“Mereka tidak boleh disentuh oleh kemudharatan kalau mereka menolak lamaran atau enggan mengawinkan karena perkawinan tidak boleh terjadi, kecuali dengan kerelaan hati. Apabila seorang wanita Nasrani menjadi istri seorang Muslim, maka sang suami harus menerima baik keinginan istrinya untuk menetap dalam agamanya dan mengikuti pemimpin agamanya serta melaksanakan tuntunan kepercayaannya. Tidak boleh hal ini dilanggar. Siapa yang melanggar dan memaksa istrinya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan urusan agamanya, maka ia telah melanggar perjanjian (yang dikukuhkan) Allah dan mendurhakai janji Rasul-Nya dan ia tercatat disisi Allah sebagai salah seorang Pembohong.”

“Buat para penganut agama Nasrani, bila mereka memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah mereka, atau satu kepentingan mereka dan agama mereka, bila mereka membutuhkan bantuan dari kaum Muslim, maka hendaklah mereka dibantu dan bantuan itu bukan merupakan utang yang dibebankan kepada mereka, tetapi dukungan buat mereka demi kemaslahatan agama mereka serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad saw.) kepada mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya buat mereka.”

“Tidak boleh seorang Nasrani dipaksa untuk memeluk agama Islam, “Janganlah mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berselisih pendapat denganmu, kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang melampaui batas dan katakan,

“Kami percaya dengan apa yang diturunkan Allah kepada kami, (al-Qur’an), juga dengan apa yang diturunkan kepada kalian (Taurat dan Injil). Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu. Dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata.” (QS. al-‘Ankabut 46).”

“Mereka hendaknya diberi perlindungan berdasar kasih sayang dan dicegah segala yang buruk yang dapat menimpa mereka kapan dan di mana pun.”

“Demikian janji Rasulullah Muhammmad Saw (diriwayatkan antara antara lain oleh Abu Daud, dan dikutip dengan berbagai riwayat oleh Abi Yusuf dalam bukunya “al-Kharaj”, Ibnu Al-Qayyim dalam “Zad al-Ma’ad.”

Janji dan pesan Nabi adalah contoh nyata betapa Islam sangat menghargai hak beragama seseorang, tak peduli agama apakah yang dianut orang tersebut. Dus, sekarang pertanyaannya, apakah sebagian dari kaum muslimin zaman now sudah mengaktualisasikan pesan Nabi ini ?

Jadi, kondisi keberagamaan yang mengkhawatirkan belakangan ini tidak bisa lepas dari kondisi masyarakatnya. Sebab, seperti dikatakan Amin Maalouf, “Masyarakat yang percaya diri tercermin dalam agama yang percaya diri, tenang dan terbuka. Masyarakat yang resah tercermin dalam agama yang hipersensitif, sok suci dan menutup diri.”

 

Sumber : Seword                                      Oleh : Ahmad Reza (Pemerhati Sosial)