Di ruang-ruang kelas sekolah negeri Amerika, siswa tidak diwajibkan untuk berdoa. Ini dimulai pada tahun 1962, setelah Mahkamah Agung memutuskan bahwa doa yang didukung sekolah melanggar larangan konstitusi mengenai penetapan suatu agama resmi.
Tetapi para siswa dapat berdoa di halaman sekolah jika mereka memilih demikian, baik secara perseorangan maupun berkelompok.
Pada Hari Kebebasan Beragama Nasional tahun ini, pemerintahan Trump merilis suatu pedoman yang menguraikan “perlindungan konstitusional untuk berdoa dan ekspresi keagamaan di sekolah-sekolah negeri.”
“Kalian memiliki hak untuk berdoa. Dan ini merupakan hak yang sangat penting dan kuat,” kata Presiden Donald Trump.
Dikelilingi para siswa, yang menurut para pejabat, telah mengalami diskriminasi keagamaan, presiden Trump mengulangi tuduhan bahwa partai Demokrat yang beroposisi melancarkan perang terhadap orang-orang beriman.
“Ada impuls totaliter yang kian berkembang di kalangan ekstrem kiri yang ingin menghukum, membatasi dan bahkan melarang ekspresi keagamaan,” kata Trump.
Pemerintah menyatakan pedoman itu akan membantu kemampuan seseorang untuk mengajukan pengaduan jika mereka dilarang berpartisipasi untuk mengemukakan ekspresi keagamaan yang dilindungi.
Tampaknya tidak ada yang berubah dari undang-undang atau peraturan yang berlaku sekarang.
Namun Departemen Pendidikan mengusulkan regulasi dan pedoman tambahan, termasuk regulasi yang menetapkan bahwa “lembaga pendidikan negeri yang lebih tinggi tidak dapat menghalangi kelompok keagamaan siswa mendapatkan manfaat, hak-hak istimewa serta hak-hak lain yang diperoleh kelompok siswa sekuler,” kata seorang pejabat senior.
“Ini adalah mekanisme yang sudah ada. Saya pikir presiden sedang berusaha menarik perhatian pada fakta bahwa ini adalah hari keagamaan nasional. Saya pikir juga presiden berusaha menarik pendukung intinya,” kata Quardricos Driskell, profesor kajian agama dan politik di Sekolah Pascasarjana bidang Manajemen Politik di George Washington University.
Trump telah membuat kebebasan beragama sebagai isu khasnya dalam kebijakan dalam dan luar negeri, antara lain dengan menetapkan suatu Hari Kebebasan Beragama dan mengarahkan Departemen Luar Negeri agar menyelenggarakan acara tahunan di tingkat menteri untuk memajukan kebebasan beragama.
Pada awal Januari lalu, dalam acara rapat umum “Evangelicals for Trump” di Miami, Trump berjanji lagi akan membawa kembali acara berdoa ke sekolah.
“Kami bukan hanya membela hak-hak konstitusional kita, kami juga membela agama itu sendiri, yang sedang terpojok,” kata Trump.
Lebih dari 80 persen warga evangelis kulit putih memilih Trump dalam pemilu 2016.
Dukungan mereka melanjutkan suatu gerakan yang dimulai pada akhir tahun 1970-an, ketika banyak penganut Protestan dan Katolik konservatif mencari advokasi politik sebagai cara untuk mengembalikan nilai-nilai “Kristen” ke Amerika.
“Dalam istilah sejarah, melindungi kebebasan beragama artinya adalah melindungi hak-hak individu warga untuk mempraktikkan kebebasan beragama mereka tanpa dipaksa pemerintah. Dan sejak 1980-an, bahasanya menjadi lebih rumit karena sarat dengan ambisi politik,” kata Chad Seales, dosen kajian agama di University of Texas di Austin.
Pemerintahan Trump juga mengusulkan perubahan-perubahan yang akan memudahkan kelompok-kelompok keagamaan yang memberikan layanan sosial untuk mengakses dana federal, dan mencabut perintah eksekutif dari era pemerintahan Presiden Barack Obama, yang memaksa organisasi-organisasi keagamaan untuk memberitahu masyarakat yang mereka layani bahwa mereka dapat menerima layanan yang sama dari penyedia layanan sosial sekuler.