ESENSINEWS.com – Dalam 13 jam pembantaian di Amerika Serikat (AS), dua penembak dalam insiden terpisah menewaskan 29 orang dan melukai puluhan lainnya, membuat pihak berwenang menyelidiki motif di balik pembantaian itu.
Presiden AS Donald Trump, Minggu (4/8/2019), memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di bangunan-bangunan pemerintah selama lima hari ke depan, “sebagai tanda penghormatan kepada para korban aksi kekerasan yang mengerikan” di El Paso, Texas dan Dayton, Ohio.
“Kebencian tidak ada tempat di negara kita,” kata Trump, Minggu, kepada wartawan. “Banyak upaya sedang dilakukan” untuk mencegah serangan di masa depan, katanya.
Seorang laki-laki bersenjata yang mengenakan rompi anti peluru dan membawa sejumlah amunisi ditembak mati oleh polisi kurang dari satu menit setelah ia melepaskan tembakan pada Minggu (4/8/2019) pagi di daerah hiburan malam yang populer di kota Midwest, Dayton, Ohio. Penembakan itu menewaskan sembilan orang dan melukai sedikitnya 27 orang, empat diantaranya mengalami luka serius.
Polisi mengatakan yakin hanya ada seorang penembak dalam insiden itu, namun belum mengetahui identitas atau motifnya. Wali Kota Dayton Nan Whaley mengatakan tanggapan cepat polisi “menyelamatkan ratusan nyawa” di distrik Oregon, Dayton, yang ramai dengan bar, restoran, dan teater.
Ia mengatakan laki-laki bersenjata itu membawa senjata semi-otomatis kaliber .223. Senjata yang digunakan pelaku berukuran sama dengan yang digunakan laki-laki bersenjata dalam penembakan yang menewaskan 20 murid dan enam orang dewasa tewas di Newtown, Connecticut pada 2012. Penembakan di Newton adalah salah satu penembakan massal paling mengerikan di AS dalam beberapa tahun terakhir.
Pembantaian di Ohio itu terjadi sekitar 13 jam setelah polisi di kota perbatasan AS-Meksiko, El Paso, Texas, mengatakan seorang laki-laki bersenjata melepaskan tembakan ke sebuah toko Walmart, menewaskan sedikitnya 20 orang dan melukai 26 orang. Pihak berwenang mengatakan menyelidiki kemungkinan kejahatan kebencian rasial yang menarget kaum Hispanik dalam penembakan di El Paso tersebut.
Insiden El Paso dan Dayton merupakan pembunuhan massal ke-21 dan ke-22 di AS tahun ini, menurut data yang dikumpulkan oleh Associated Press, USA Today, dan Northeastern University. Arsip tersebut mendefinisikan pembunuhan massal, ketika empat orang atau lebih ditembak mati, tidak termasuk penembak, di satu lokasi.
Insiden terbaru itu terjadi seminggu setelah seorang laki-laki bersenjata menewaskan tiga orang di sebuah festival makanan di California dan menyusul pembunuhan terhadap 58 orang di sebuah festival musik Country pada 2017 di California, 49 orang di sebuah klub malam Orlando, Florida, pada 2016 dan 25 orang di sebuah gereja di Texas pada 2017.
Pihak berwenang AS sesekali mencoba mencari cara untuk menghentikan pembantaian warga tak bersalah, di negara dimana kepemilikan senjata dilindungi sebagai hak konstitusional. Sebagian anggota parlemen berusaha untuk membatasi kepemilikan senjata atau memperketat peraturan seputar penjualan senjata, tetapi pada umumnya ditolak oleh anggota parlemen lainnya yang menentang pembatasan baru.
Setelah serangan Dayton, Senator dari Ohio Sherrod Brown mengatakan ia marah terhadap pembuat undang-undang negara bagian dan nasional yang tidak mau menyetujui pengawasan senjata yang lebih ketat dan mengatakan “simpati dan doa politisi saja tidak cukup” sebagai tanggapan terhadap pembunuhan massal.
Sumber : VOAIndonesia