Lagi wacana soal rektor asing di Indonesia diutarakan Menristekdikti Muhammad Natsir belum lama ini. Hal itu pun menuai kontroversi. Memang sah-sah saja tapi esensi dari argumen Menrisekdikti agak kurang pas. Pasalnya, ini akan mematikan aset bangsa.
Kembali prestasi di Indonesia di bidang pendidikan jungkir balik. Pasalnya, universitas kebanggaan dan kenamaan kita yakni Universitas Indonesia peringkatnya turun.
Untuk menaikan peringkat bukan harus mendatangkan rektor asing. Pertanyaanya berapa anggaran yang kita harus keluarkan? Apa fasilitas untuk mereka? Apakah kita sudah kehabisan para kaum akademisi atau orang-orang pintar hingga harus mendatangkan rektor asing.
Bagaimana mau mendatangkan dosen asing, fasilitas di kampus kita juga belum mendukung khususnya labaratorium, sistem pembelajaran belum optimal, perpustakaan, WIFI, penguasaan bahasa asing dan IT kita masih kurang, sarana penunjang belajar lainnya seperti komputer dan sebagainya.
Ketimbangkan datangkan rektor asing rekrut saja para guru-guru besar kita yang mengajar di belahan dunia. Atau di kampus ternama.
Universitas Indonesia (UI) sebelumnya berada dirangking 292 dunia, kini turun ke peringkat 296. Ini bukan maju tapi mundur. Justru Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang naik ke peringkat 320. Peringkat UGM di tahun 2019 adalah 391 sehingga terjadi kenaikan peringkat 71.
Universitas terbaik ketiga dari Indonesia menurut QS adalah Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berada di peringkat 331, juga mengalami peningkatan karena di tahun sebelumnya berada di peringkat 359.
Namun sejauh ini, sektor pendidikan bukan menjadi skala prioritas. Lantaran kata dia pemerintahan Jokowi hanya fokus di infrastruktur, pertanahan dan agraria serta desa tertinggal.
Dengan cost or budgetingpendidikan yang mencapai 20 persen bahkan lebih dari dana APBN yaitu sebesar Rp487,9 triliun Rp2.461,1 triliun namun sayangnya minim prestasi.
Ada sejumlah metode yang bisa meningkatkan kualitas pendidikan kita diantaranya, education system (sistem pendidikan, learning methods (metode pembelajaran), quality of lecturers (kualitas dosen), research development (pengembangan penelitian), provision of learning facilities (penyedian sarana belajar) dan grand design education (desain pendidikan) perlu ditingkatkan,” kata peneliti puluhan universitas ternama di Amerika ini. Kalau perlu target mengirim 30-50 ribu mahasiswa ke luar negeri dan juga training bagi dosen-dosen di universitas ternama dunia.
Rahasia agar pendidikan kita maju, pemerintah jangan segan-segan merekrut para guru-guru besar kita di luar negeri. Contoh di AS, yang dikenal dengan nama “Diaspora”.
Bagaimana mau bersaing kata Jerry, dosen-dosen saja kita masih kalah kelas. Menurut laporan dari OECD, jumlah bergelar Ph.D di Amerika dua kali lebih banyak daripada Jerman. Pada 2014, Amerika mengoleksi 67.449 orang yang bergelar Ph.D. Angka ini mengalahkan 28.147 orang lulusan yang sama di Jerman.
Kita saja masih kalah kelas dari India. Sejauh ini mereka memiliki 24.300 doktor bergelar Ph.D yang lulus pada tahun yang sama, di bawah Inggris yang memiliki 25.020 lulusan Ph.D. OECD menyebut bahwa jumlah lulusan doktoral di dunia semakin meningkat selama dua dekade terakhir. Banyak dari mereka berasal dari negara-negara berkembang yang peduli dengan investasi pendidikan masyarakatnya. Salah satu negara yang punya komitmen untuk investasi pendidikan adalah India dengan 24.300 doktor baru pada 2014. Salah satu negara di Afrika yang saat ini getol mendorong warganya untuk mendapat pendidikan tinggi adalah Afrika Selatan. Ini bisa dilihat dari 2.060 lulusan doktor pada 2014.
Sedangkan Prancis jelasnya, 59 persen negara yang paling banyak menghasilkan lulusan dari jurusan ilmu alam dan teknik disusul Kanada (55 persen), dan Cina (55 persen). Cina melalui kebijakan ekonomi yang agresiflasnya mengembangkan teknologi untuk kepentingan industri, tentu membutuhkan lebih banyak doktor untuk mewujudkan itu semua. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Pada 2012 Indonesia, jumlah penyandang gelar doktor baru mencapai 25.000 orang. Dua tahun kemudian angka itu naik mencapai 75.000 orang, angka ini jauh tertinggal dari Cina yang memiliki 500.000an doktor.
Jumlah doktor kita yang berkualitas taraf internasional masih minim. Untuk meningkatkan jumlah doktor di Indonesia maka mau tidak mau pemerintah harus menggenjot sektor pendidikan.
Justru itu, Jery menyarankan agar perlu mengumpulkan profesor kita yang tersebar di luar negeri, perbanyak perpustakaan, minat baca ditingkatkan kalau mau pendidikan kita mengalami progressing (kemajuan) bukan setback (kemunduran). Berikan facilities and salary (fasilitas dan gaji) yang sesuai kemampuan mereka.
“Saat berada di Southern California University dan New York University ternyata di Southern ini, internasional student cukup banyak khususnya dari China yang hampir 50 persen begitu pula di NYU.
Adapula MIT di Boston yang kini duduk diperingkat pertama dunia, memiliki jumlah mahasiswa asing terbanyak di Amerika Serikat. Sebanyak 42 persen. Adalagi kampus di New York yakni Colombia University dengan total mahasiswa asing sebesar 32 persen, kampus ini menjadi salah satu kampus dengan jumlah mahasiswa terbanyak di Amerika Serikat.
Sedangkan Northeastern University di Boston, memiliki mahasiswa jenjang S-1 sebesar 18 ribu, dimana 3.400 mahasiswanya terdiri dari mahasiswa asing. Adapula Rice University di Houston sendiri yang memiliki presentase jumlah mahasiswa asing terbanyak. Hampir setengah mahasiswanya adalah mahasiswa asing.
Kampus ini juga memiliki jumlah mahasiswa asing terbanyak di Amerika Serikat. Dengan populasinya sekira 2.255 mahasiswa.
Georgia Institute of Technology sendiri kata dia, menjadi kampus dengan jumlah mahasiswa asing terbanyak di Amerika Serikat pada 2016 lalu sekira 20-ribuan mahasiswanya berasal dari luar Amerika Serikat.
Indonesia masih kalah kelas dengan negara tetangga yaitu Singapura yang menempatkan dua universitanya diperingkat 11 dunia dalam daftar 500 universitas terbaik di dunia yakni; Nanyang Technological University dan National University of Singapore yang dirilis lembaga QS Dengan torehan Ini menempatkan kedua lembaga perguruan tinggi ternama di Singapura itu sebagai universitas terbaik di Asia.
“Bagaimana mau maju banyak dosen yanh yak menguasai IT dan bahasa inggris, kurang riset di luar negeri. Bahkan jumlah mahasiswa kita di luar negeri sangat minim.
Bayangkan Cina pada 2017/2018 mengirim 363,341 student ke Amerika. Tahun 2015/2016 sebanyak 328,547 pelajar serta 2016/2017 yaitu sebanyak 350,755.
Sedangkan Indonesia 8650 pelajar yang belajar di AS pada tahun 2017/2018. Masih kalah dengan Vietnam yakni 24.325 sedangkan India diposisi kedua 196,271 serta Korea Selatan 54,555 pelajar.
Sampai kini, Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat yang berada di peringkat pertama delapan tahun berturut-turut diikuti Stanford University dan Harvard berada di urutan kedua dan ketiga, disusul Oxford University di Inggris di tempat keempat.
Dalam menentukan peringkat ini, QS menggunakan beberapa kriteria seperti reputasi akademis, penelitian yang dilakukan, rasio antara staf dengan mahasiswa dan seberapa mudah lulusan mendapat pekerjaan.
Sementara Australia jelas dia, menempatkan tujuh universitas terbaik berada di peringkat 100 dunia, dengan Australian National University di Canberra berada di peringkat 29. University of Melbourne berada di peringkat 38. Dua universitas besar di Sydney, University of Sydney dan University of New South Wales saling berdekatan, yaitu masing-masing di peringkat 42 dan 43.
University of Queensland di Brisbane berada di peringkat 47 dan universitas lainnya di Melbourne, Monash University berada di peringkat 58. Dan University of Western Australia di Perth berada di peringkat 86.
Inti persoalannya Indonesia belum bisa membedakan antara politik dan pendidikan. Kerap pendidikan di politisasi demi group and privacy interest tanpa melihat public interest seperti apa?
Oleh : Jerry Massie (Direktur Political and Public Policy Studies)