ESENSINEWS.com– Nasib memang Tuhan yang menentukan, tetapi manusia harus berusaha supaya apa yang dicita-citakan bisa terwujud. Kata-kata itu selalu dijadikan pegangan oleh Akhmad Mundholin, penghuni panti asuhan yang kini menjadi Direktur Utama Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) Kendal, Jawa Tengah.
Mundholin mengatakan, apa yang dicapai saat ini tidak mudah. Selain membutuhkan perjuangan dan kesabaran, perlu juga untuk banyak berdoa kepada Tuhan.
Bapak tiga anak yang kini tinggal di Desa Pidodo Kulon, Patebon, Kendal, ini menceritakan bahwa masa kecilnya sangat sulit dilalui. Sewaktu umur 2 tahun, ia sudah harus menjadi anak yatim. Sebab, Ayahnya meninggal dunia.
Saat itu, kehidupan ekonomi keluarganya benar-benar memprihatinkan. Bahkan, untuk makan saja, menurut Mundholin, keluarganya kadang masih bergantung dari bantuan tetangga yang dermawan.
“Hidup kami sangat susah,” kata Mundholin, sambil meneteskan air mata, saat ditemui, Sabtu (20/7/2019).
Mundholin mengatakan, untuk menghidupi 8 orang anak, ibunya bekerja sebagai penarik karcis pedagang pasar. Lantaran gajinya tidak cukup untuk menghidupi 8 anaknya itu, ibunya mencari pendapatan tambahan dengan bekerja sebagai tukang sapu di Pasar Pidodo Kulon.
Mudholin yang meruakan anak ketujuh dari 8 bersaudara tersebut menceritakan, selepas menamatkan sekolah dasar, ia dilanda kebingunan . Sebab ia ingin melanjutkan sekolahnya ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP).
Namun, ia sadar bahwa untuk melanjutkan sekolah ke SMP, ibunya sudah tidak ada biaya.
Jadi anak panti
Suatu saat, ada tetangganya yang menawari Mundholin untuk masuk ke panti asuhan. Hal itu dilakukan agar dirinya bisa melanjutkan ke SMP dan sekolah menengah atas (SMA). Tawaran tersebut langsung diterima.
“Tetangga saya itu pengurus panti asuhan,” jelasnya.
Sejak itu, ia harus hidup di panti asuhan dan pisah dengan keluarga. Segalanya dilakukan supaya Mundholin bisa sekolah.
Mundholin mengatakan, di panti asuhan dirinya dididik mandiri. Ia harus mulai mencuci baju sendiri, merapikan kamar, bersih-bersih, menyapu, mengepel hingga memasak sendiri.
Bisa masuk SMP, Mundholin mengaku sangat senang sekali, meskipun jarak sekolah dengan panti asuhan sekitar 7 kilometer. Ia harus berjalan kaki ketika berangkat dan pulang sekolah.
“Kadang bonceng teman yang memakai sepeda ontel. Kalau tidak ada boncengan ya terpaksa jalan kaki,” kata Mundholin.
Demi cita-citanya supaya bisa sekolah tinggi, Mundholin tetap menjalani kehidupannya dengan penuh semangat, meskipun di sekolah ia sering dipandang sebelah mata oleh teman-temannya, karena status sosialnya sebagai anak panti asuhan.
Rasa minder, tidak percaya diri, merasa dikucilkan, ada dalam diri Mundholin kecil. Tetapi, karena mempunyai semangat supaya bisa sekolah, rasa itu ia abaikan.
Mundholin tetap rajin belajar dan terus berdoa. Hasilnya, di sekolahnya ia mempunyai prestasi yang sangat baik.
“Saya menjadi salah satu anak yang pandai. Teman-teman saya mulai mengakui saya. Bahkan saya ditunjuk oleh guru kelas sebagai ketua kelas,” lanjutnya.
Lulus SMP, Mundholin melanjutkan ke SMA . Jarak sekolahnya dengan panti sangat jauh dan tidak mungkin ditempuh dengan jalan kaki. Akhirnya, dia dititipkan untuk tinggal di panti asuhan di Weleri, yang jarakanya dekat dengan sekolah.
Di panti asuhan yang baru, menurut Mundholin, aturannya lebih ketat dibandingkan yang lama. Namun, aturan itu lah yang membuat Mundholin merasakan betul manfaatnya hingga sekarang.
Kehidupan di panti asuhan membuat Mundholin menjadi orang yang tidak mudah mengeluh, pekerja keras, ulet, telaten, sabar dan pantang menyerah.
“Selepas SMA, saya mulai kerja di BPR di wilayah Kecamatan Gemuh. Saat itu, saya menjadi petugas desa yang bekerja dari kantor balai desa satu ke balai desa lainnya,” kata Mundholin.
Lantaran ketekunan dan kejujurannya tersebut, karirnya sebagai karyawan BPR terus meningkat. Sebagian uang pendapatannya ia sisihkan untuk membantu ibu dan membiayai kuliahnya di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) 1945 Semarang.
Setelah lulus kuliah dan meraih gelar sarjana, ia dipercaya menjadi Wakil Direktur BPR BKK Kendal.
Alhamdulillah, sekarang saya sudah dua periode ini menjabat sebagai Direktur BPR BKK Kendal dan saya juga sudah lulus S2 atau Megister Menejemen,” kata Mundholin.
Mundholin mengaku, dirinya tidak pernah malu akan latar belakang kehidupannya sebagai anak panti asuhan ataupun anak yatim. Bahkan, kepada siapapun ia sampaikan bahwa dirinya adalah anak panti.
Aktif membantu panti asuhan
Sukses menjabat sebagai Direktur BPR BKK Kendal, Mundholin tidak lantas lupa akan asal usulnya. Ia mengaku, jika hidup sebagai anak yatim memanglah berat, apalagi harus hidup di panti asuhan tanpa keluarga dan harus dituntut mandiri.
Oleh sebab itu, ia sebisa mungkin membantu anak-anak yatim dan panti asuhan. Salah satunya, dengan menjadi donatur.
Mundholin ingin memberikan kebahagiaan kepada anak-anak yatim. Sebab, dirinya merasakan sendiri, bagaimana susah dan sedihnya menjadi anak yang tidak memiliki orang tua.
Di samping itu, dirinya juga ingin panti asuhan membuat usaha mandiri. Misalnya seperti usaha fotokopi dan penjualan alat tulis kantor (ATK). Tujuannya, agar panti asuhan bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada bantuan.
“Saya adalah anak yang merasakan bagaimana panti asuhan itu begitu sabar mendidik dan merawat anak-anak yatim. Paling tidak, dengan bisa meringankan beban pengurus panti asuhan,” tandasnya.
Di sela kesibukan kerjanya, Mundholin selalu menyempatkan waktu untuk datang ke panti asuhan untuk memberikan motivasi kepada anak-anak yatim. Ia berbagi cerita dan pengalaman hidup kepada anak-anak di panti asuhan, agar mereka semangat.
Mundholin menyebarkan pesan bahwa anak yatim, anak panti asuhan bisa sukses dan berhak untuk mendapatkan hidup yang layak seperti anak-anak lainnya.
Sumber : Kompas.com