Esensinews.com – Pemilu Serentak 2019 tinggal menghitung hari. Bersamaan dengan itu, kondisi sosial masyarakat dan ruang publik hampir setiap hari disuguhi hal-hal negatif seperti berita palsu (hoaks), ujaran kebencian (hatespeech), intimidasi dan teror psikologis yang dapat mengancam pelaksanaan pesta demokrasi.
Pengamat Politik Senior LIPI, Indria Samego mengatakan Pemilu adalah pesta rakyat. Tapi, pesta ini tak mencerminkan pesta sebenarnya. Dia lantas menyinggung adanya salah satu Capres yang menggebrak meja saat kampanye.
“Kemarin kita msialnya mendengar calon presiden menggebrak-gebrak meja, itu emosi sesaat. Cuma penafsiran publik bisa bermacam-macam. Apalagi dengan adanya media sosial yang memberikan kesempatan kita menilai,” ujar Indria pada diskusi publik bertajuk “Prediksi Dinamika Pemilu Serentak 2019 Dalam Perspektif Sosial Politik Dan Keamanan” di Upnormal, Raden Saleh, Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2019).
Selain itu, Indria juga menyinggung pernyataan Amien Rais yang mengatakan akan menggerakkan people power jika ada kucurangan pada Pilpres ini. Dia juga mengatakan adanya pernyataan “perang total” sebagaimana disampaikan Moeldoko.
“Saya melihat ini sangat mempengaruhi rasa aman masyarakat. Harapan kita dari Pemilu ke Pemilu demokrasi naik kelas,” katanya.
Hal yang sama juga disampaikan Direktur Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo. Menurut dia, Pemilu 2019 masih banyak menyisakan masalah. Dia mengatakan ada ribuan pelanggaran Pemilu yang dilaporkan ke Bawaslu.
Disebutkan Karyono, hoaks juga cukup meningkat. Dia mengutip data dari Kominfo. Disebutkan, bahwa ada 771 konten hoaks dan dari 771 itu ada 181 konten hoaks yang terkait dengan hoaks politik. Karyono juga mengutip data PoliticaWafe dan Masyarakat Anti Fitnah (MAFINDO). Menurutnya, kalau dilihat dari trannya, hoaks tidak akan berhenti sampai pada Pemilu 2019 ini.
“Apalagi saya melihat gejala hoaks sudah menjadi industri,” tandas Karyono sambari mencontohkan kasus Saracen.
Selain hoaks, Karyono juga menyoroti beberapa peristiwa lainnya yang menjadi acaman dalam Pemilu. Dia menyebut adanya pembakaran sepeda motor dan mobil. Peristiwa pembakaran ini diketahui Karyono tejadi di Solo, Temanggung (Jawa Tengah) dan Jawa Timur.
“Kenapa terjadi di Jateng dan Jatim karena itu merupakan basis kandidat Capres terentu. Peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri tapi memiliki korelasi kuat dengan agenda Pemilu,” katanya.
Lebih lanjut, Karyono juga menyoroti hasil Pemilu Amerika Serikat yang dimenangkan Donald Trump. Oleh banyak kalangan, kata Karyono, kemenangan Trump dari Hillary Clinten pada Pemilu Amerika karena mempratikkan propaganda ala Rusia. Proganda ala Rusia ini kemudian dianggap berlanjut di Brazil.
“Kalau nanti di Indonesia dipraktikkan dan berhasil maka akan jadi rule model. Itu menjadi ancaman demokrasi dan peradaban,” tukas dia.
Sementara itu, Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby mengatakan selisih elekbilitas pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi cukup tinggi hingga doble digit di atas 15 persen. Hal ini disampaikan Adji berdasar hasil survei sejumlah lembaga survei kredibel.
“Saya melihat secara elektabilitas kedua capres yang selisihnya doble digit, di atas 15 persen,” katanya.
Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta mengatakan jika perolehan suara Capres-Cawapres secara nasional rendah maka hal itu akan menjadi pintu masuk dan dimanfaatkan untuk membuat kegaduhan pihak-pihak tertentu.
“Kalau selisih perolehan suaranya tipis rawan gugatan ke MK,” katanya.
Pintu masuk kerawanan lainnya, menurut Stanislaus, adalah soal ujaran kebencian, hoaks, politik identitas yang mengandung SARA. Politik identitas membuat masyarakat terpolariasi. Ini belum lagi soal adanya narasi-narasi “jika kalah berarti dicurangi”.
“Ini kan narasi yang bisa memicu kegaduhan,” katanya.
Namun demikian, Stanislaus yakin ancaman Pemilu dapat diatasi. Karena, dia sudah melihat kesiapan TNI, Polri, dan BIN dalam pengamanan pesta demokrasi lima tahunan ini.
“Kekuatan ini cukup untuk mengamankan pemilu. Jadi tak perlu takut. Cegah golput, tingkatkan partisipasi, dan perlu ketegasan dari penyelenggara Pemilu untuk menjalankan aturan,” katanya.