Esensinews.com – Ketua Lembaga Bantuan Hukum Trisila, Hasan Lumban Raja menyoroti pelanggaran Pemilu yang tidak tertangani secara maksimal oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut Hasan, sebagai pengawas Pemilu, Bawaslu terjebak pada pemahaman perbuatan pelanggaran hukum dalam arti sempit.
Disebutkan, Pelanggaran hukum dalam Pemilu 2019 hanya dipahami sebagai pelanggaran norma undang-undang Pemilu berikut peraturan pelaksananya. Akibatnya, kata dia, ada berbagai perbuatan dari berbagai pihak dalam Pemilu 2019 yang seyogyanya berpotensi menjadi ancaman demokrasi yang tidak tersentuh pengawasan.
Hasan memberikan contoh kasus hoaks adanya tujuh kontainer yang berisi tujuh puluh juta surat suara yang sudah dicoblos. Dalam kasus ini, justru yang hadir untuk menyelesaikannya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Bawaslu dalam kasus ini absen. Justru KPU yang melaporkan kepada Polri agar kasus ini ditindak,” ujar Hasan dalam diskusi bertajuk “Pelanggaran Hukum Dalam Pemilu 2019 Dan Potensi Ancaman Demokrasi” di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (13/3/2019).
Hasan menyayangkan ketidakhadiran Bawaslu dalam menangani kasus hoaks tersebut. Padahal, kasus hoaks menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi karena merugikan hak rakyat selaku pemegang kedaulatan untuk mendapatkan Pemilu yang adil dan berintegritas serta Pemilu yang efektif dan efisien.
“Pada sisi yang lain para peserta Pemilu juga mengalami kerugian akibat perbuatan tersebut. Seperti dalam kasus hoaks tujuh kontainer surat suara. Bawaslu tidak berdaya menyelesaikan permasalahan ini,” katanya.
Di tempat yang sama, eks Ketua Bawaslu Jawa Barat, Harminus Koto memaparkan jenis-jenis pelanggaran Pemilu. Jenis pelanggaran Pemilu tersebut adalah pelanggaran administrasi, pidana dan etik. Menurut dia, Undang-Undang Pemilu no.7 Tahun 2017 secara tegas mengatur instrumen penegakan hukum Pemilu.
“UU itu memperkuat Bawaslu dalam penegakan hukum Pemilu, namun masih tekendala teknis dalam mendukung optimalisasi kinerja penegakan hukum pemilu,” tandasnya.
Dia lantas menyarankan agar Bawaslu lebih aktif menyoroti informasi publik yang berseliweran di media sosial dan harus menindaklanjutinya.
“Komunikasi politik Bawaslu juga harus ditingkatkan ketika mengetahui informasi yang diduga memenuhi unsur pelangagran pemilu,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Publik Institute (IPI), Karyono Wibowo menyampaikan maraknya pelangaran Pemilu yang tidak diproses secara hukum dapat menjadi ancaman masa depan demokrasi Indonesia.
Menurut Karyono, diperlukan ketegasan sikap dari Bawaslu untuk menindak tegas pelanggaran Pemuli. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkam budaya sadar hukum dalam mencegah pelanggaran hukum dalam pesta demokrasi.
“Dugaan pelanggaran pemilu justru banyak dialihkan ke pidana umum. Bawaslu cenderung menghindar alias ngeles,” tandas Karyono.
Karyono lantas menguraikan beberaapa hal dugaan pelanggaran hukum yang terjadi di tengah proses Pemilu Serentak yang bakal berlangsung pada 17 April 2019 mendatang. Dugaan pelanggaran hukum Pemilu tersebut, kata dia, terkait erat dengan masa depan demokrasi di tanah air.
Misalnya, kata dia, marakanya isu politik identitas dalam bentuk SARA dan dinarasikan serta disebarkan di line media sosial. Menurut dia, marakanya permainan isu politik identitas ini cukup berbahaya. Disebutkan, tujuan dari pernainan politik identitas untuk mengalahkan lawan demi keuntungan pribadi dan kolompok.
Ancaman masa depan demokrasi lainnya, Karyono menyebut, adalah hoaks atau berita bohong. Dampak dari hoaks ini cukup sigifikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi kalau hoaks tersebut sudah menjadi industri.
“Ini bisa merusak peradaban dan lebih parah bisa menimbulkan disintegrasi. Padahal demokrasi di Indonesia mengehargai perbedaan tapi karena politik identitas demokrasi ternodai,” katanya.
Masalah lain dari ancaman demokrasi lainnya, menurut Karyono, adalah intimidasi dan teror, money politik dan belanja suara.
Hal yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif PERLUDEM, Titi Anggraini. Dia setuju dengan pernyataam Karyono. Dia lanatas meminta agar Pemilu dijalankan sesuai peraturan perundang-undangan. Sebab, kata dia, kepatuhan dan penegakan hukum Pemilu adalah syarat terwujudnya Pemilu yang berkeadilan, berkualitas dan berintegritas.
“Prinsip Pemilu itu JURDIL. Dalam keadilan Pemilu, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih,” katanya.