Oleh : Emrus Sihombing (Direktur Eksekutif EmrusCorner)
Publik bisa jadi tersentak membaca berita memuat kritikan Said Didu (SD) kepada pemerintah yang dimuat beberapa media online terkemuka di negeri ini. Kririkan tersebut, menurut saya, sangat menukik. Bahkan dalam beberapa berita terkait tertulis kata, pembohong.
Salah satu media menulis bahwa SD mengungkapkan Jokowi pernah menyatakan tidak akan impor pada saat kampanye dulu. Dalam perjalanannya, Indonesia masih mengimpor barang dan jasa dari negara lain. Boleh jadi makna yang ingin disampaikan SD bahwa realitas tidak linear dengan seharusnya. Dengan kata lain, ada ketidakkonsistenan antara pernyataan dengan tindakan.
Itu, sebuah kritik yang sangat menarik ditelaha. Memang, sajian data dan argumentasi yang disampaikan SD sangat rasional. Sayangnya, padangan SD hanya melihat dari satu sisi, yaitu tidak mengimpor menjadi mengimpor. Sama sekali tidak mengemukakan sejumlah manfaat positif di balik mengimpor barang dan jasa tersebut dari aspek non-ekonomi dan ekonomi.
Kita lihat saja, misalnya, mengimpor barang dan jasa yang dimanfaatkan secara optimal membangun infrastruktur, serperti jalan tol. Manfaat pembangunan jalan tol, yang tampaknya belum dilihat oleh SD, dipastikan mempunyai dampak positif yang luar biasa terhadap non-ekonomi dan ekonomi.
Manfaat non-ekomoni jalan tol, antara lain memperlancar interaksi sesama anggota masyarakat dari suatu daerah tertentu ke daerah lainnya melalui jalan darat. Misalnya, pada hari liburan, masyarakat di Jawa Tengah bisa berkunjung ke Jakarta. Masyarakat Jakarta bisa berlibur ke daerah Jawa Timur. Ini bisa menimbulkan dampak positif, setidaknya terjadi transfer pengetahuan budaya antar daerah. Selain itu, mampu memperkuat rasa kebersamaan kebangsaan kita sebagai sesama penghuni “Rumah Besar Indonesia”.
Sedangkan manfaat ekonomi, sangat terukur. Di satu sisi, pembangunan jalan tol dipastikan mendorong pertumbuhan ekonomi, antara lain pergerakan barang dan jasa dari daerah satu ke daerah lain akan lebih cepat dan murah, sebagai pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Di sisi lain, pembangunan jalan tol sebagai dasar pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan panjang.
Manfaat non-ekonomi dan ekonomi sebagaimana saya uraikan di atas, tampaknya belum atau sengaja tidak dikemukakan oleh SD dalam memberikan kritikan kepada Jokowi. Inilah saya sebut sebagai kritik menggunakan “Kacamata Kuda”. Bisa saja tujuannya, memanipulasi persepsi publik. Untuk itu, publik harus cerdas menerima dan memahami semua kririk sebagai narasi pesan komunikasi. Singkatnya, setiap pesan komunikasi yang disampaikan oleh seorang aktor politik, utamanya kritik dalam konteks dan nuansa politik, dipastikan tidak berada di ruang hampa, semua bertujuan politik, yaitu tidak lepas dari kepentingan politik kekuasaan pragmatis.
Padahal, melihat strategisnya dan manfaat besar dari pembangunan jalan tol, misalnya, saya berani berpendapat, pembangunan (menyambungkan) tol seperti di Pulau jawa, sejatinya dilakukan di seluruh pulau besar di Indoensia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). Dengan demikian, manfaat non-ekonomi dan ekonomi semakin dirasakan di seluruh Indonesia.
Ini sebagai wujud keadilan sosial dalam bidang pembangunan jalan tol di seluruh Indonesia. Karena itu, siapapun presiden periode 2019 – 2024, Jokowi atau Prabowo, sejatinya pembangunan jalan tol harus direalisasikan (dilanjutkan), setidaknya di empat pulau besar lainnya di Indonesia, sebagai wujud keadilan sosial tersebut.
Strategi Menangkal Ktirik Satu Sisi
Kritik menukik yang disampaikan sebagian aktor politik, seperti yang dilakukan oleh SD, terhadap pelaksanaan dan capaian pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, akan layu begitu saja manakalah keberhasilan-keberhasilan pembangunan di setiap kementeriaan digelorakan di ruang publik secara masif. Ukuran masif sederhana melihatnya, bila tema keberhasilan pembangunan tersebut menjadi viral dan trending topic di berbagai sosial media. Jadi, sangat tidak memadai bila Biro Komunikasi & Informasi hanya mem-posting di wesite kementerian masing-masing saja tentang kinerja mereka.
Ambil saja contoh, bisakah manfaat ekonomi dari pembangunan tol di Pulau Jawa bagi masyarakat sekitar dan indahnya wisata di Raja Ampat bagi wisatawan domestik dan mancanegara menjadi viral dan trending topic di berbagai sosial media? Pasti bisa, bila mana semua menteri merevitalisasi Biro Komunikasi & Informasi sebagai unit kerja yang sangat-sangat strategis dari aspek sumber daya manusia yang profesional dan pendanaan yang setara dengan unit strategi lainnya yang ada di kementerian, seperti yang sudah dilakukan di Kepolisian kita, Polri.
Jika tidak, pemerintah jangan berharap, keberhasilan pembangunan di setiap kementerian menjadi trending topic di berbagai sosial media. Akibatnya, bisa jadi begitu mudahnya publik terbius oleh kritik aktor politik tertentu yang berada di kekuatan politik di luar pemerintah, yang senantiasa memposisikan pandangannya selalu sepakat untuk tidak sepakat dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan saat ini.
Untuk itu, saya menyarankan kepada presiden agar meminta (memerintahkan), tentu melalui para menteri dan kepala lembaga di bawah presiden, supaya semua Biro Komunikasi & Informasi lebih berpacu menggelorakan pembanguan di setiap instasinya ke ruang publik dan diwajibkan menjadi trending topic.
Lebih mempunyai nilai tambah lagi, bila keberhasilan pembangunan itu dikemas sehingga mengandung nilai berita yang bisa menjadi bahasan oleh berbagai media massa utama. Ini sekaligus sebagai tirai penutup dari para pengktirik yang melihat hanya melihat satu sisi dari kebijakan dan tindakan pemerintah.
Efek lanjutan penggeloraan pembangunan yang sudah menjadi trending topic dan diperbincangkan di media massa utama, dipastikan mengurangi beban tugas presiden menjelaskan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini kepada masyarakat.