Esensinews.com — Inilah kelanjutan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang menyerat nama besar Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto. Menanggapi hal tersebut Direktur eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai memori kolektif publik tanah air tidak akan pernah lupa akan kejadian penculikan dan penghilangan paksa 13 aktivis pro reformasi pada tahun 1998.
“Yang jadi pertanyaan apakah Prabowo mampu menuntaskan hal tersebut? Dalam hal ini saya agak pesimis. Mengapa demikian? Padahal jika kita merujuk pada surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bahwa Prabowo Subianto diberhentikan tidak hormat dari militer karena dugaan masalah penculikan. Namun demikian dalam perkara ini yang diadili adalah anggota Tim Mawar saja, sedangkan komandannya tidak pernah diadili? Siapa komandannya? Ya pak Prabowo Subianto,” kata Karyono dalam diskusi publik bertajuk “Mampukan Prabowo Subianto Menuntaskan Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 13 Aktivis 98 dan Memberantas Radikalisme dan Terorisme” di Jakarta, Rabu 16 Januari 2019.
Dalam hal upaya penuntasan dugaan pelanggaran HAM di masa silam tentu saja kita harus berpijak pada ketentuan regulasi yang ada, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Amanat dari Undang-Undang ini adalah sebagai penyelidik KomnasHam, sedangkan Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut.
“Sehingga, sebagai masyarakat sipil, mari kita terus dorong KomnasHAM dan Kejaksaan Agung agar segera menuntaskaan dugaan pelanggaran HAM penculikan 13 aktivis pro reformasi,” beber karyono.
Masih kata Karyono, masalah lain yang tidak kalah penting dan membetot atenti publik tanah air adalah perihal merebaknya gejala intoleransi dan radikalisme di tanah air. Terhadap fenomena tersebut pemerintah telah bertindak tegas dengan menerbitkan regulasi.
Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat yang belakangan telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 merupakan bentuk regulasi nyata yang dikeluarkan pemerintah untuk membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Keputusan Pemerintah ini juga diperkuat dengan Putusan PT TUN DKI Jakarta nomor perkara 196/B/2018/PT.TUN.JKT yang menguatkan putusan PTUN DKI Jakarta Nomor 211/G/2017/PTUN.JKT bahwa pembubaran HTI adalah legal karena nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
“Kemudian yang jadi pertanyaan, usai dibubarkan pemerintah, kemana mereka menyalurkan aspirasinya, termasuk aspirasi politiknya? Apa yang disampaikan ormas GP Ansor kepada Presiden Jokowi bahwa ada capres tertentu yang didukung kelompok radikal menarik untuk dicermati. Apakah mungkin eksponen HTI berlabuh ke Prabowo? Saya pikir bisa jadi, lebih-lebih mereka kecewa dengan sikap tegas pemerintah yang didukung segenap ormas Islam,” demikian penjelasan Karyono.
Editor : Jerry