Oleh : Hendardi, Aktivis HAM, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
Esensinews.com – Dalam persoalan HAM, tercatat masih terdapat 8 (delapan) kasus pelanggaran HAM yang berat yang penuntasannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, di antaranya: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Triksakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan Peristiwa Wasior, dan Peristiwa Wamena. Sedangkan saat ini proses penyelidikan Komnas HAM yang masih berjalan adalah Kekerasan Paniai 2014, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998–1999 dan beberapa lainnya yang terjadi di Aceh.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai kualitas penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada 2018 memburuk. Hal ini merupakan kesimpulan dari catatan KontraS yang dirilis pada Hari HAM sedunia 2018. Selain kasus pelanggaran HAM banyak muncul di tahun ini, KontraS juga menilai tak ada perbaikan signifikan di upaya pemerintah dalam menuntaskan masalah penegakan hak asasi manusia.
Selain janji politik Jokowi-JK yang belum ditunaikan, terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM aktual yang juga terjadi sepanjang 2018, antara lain: praktik pembunuhan ekstra yudisial, di mana Polri melakukan tembak mati terhadap pelaku kejahatan tanpa memenuhi standar optimum penggunaan senjata api; vonis mati terhadap pelaku kejahatan yang menunjukkan belum ada upaya serius pemerintah melakukan penghapusan praktik hukuman mati; persekusi terhadap kelompok minoritas keagamaan dan sejumlah praktik penyiksaan.
Pada bidang hukum, Jokowi gagal mengelola Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan kewenangan legislasinya untuk memproduksi berbagai UU yang secara nyata dibutuhkan oleh rakyat. Publik juga belum memperoleh keyakinan atas kinerja penegak hukum dan integritas pejabat di bidang hukum. Kementerian Hukum dan HAM, belum efektif menjadi pejabat publik dan lebih merepresentasikan diri sebagai wakil partai dan menjadi pelindung kepentingan politik partai.
Pada bidang HAM, prestasi Jokowi hanya menerbitkan Perpres No. 75/2005 Tentang RANHAM 2015-2019, dengan materi muatan yang mirip program kerja lembaga kajian bukan sebagai rencana pemerintah. Kualitas RANHAM sangat buruk dibanding sebelumnya. Sisanya, Jokowi melalui para pembantunya hanya bikin gaduh dengan ide rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran. Gagasan menyesatkan ini sampai sekarang terus bergulir. Empat (4) tahun ini juga pelanggaran HAM terjadi, Tolikara, Aceh Singkil, Lumajang, pembiaran pengungsi Syiah dan Ahmadiyah, kriminalisasi kebebasan berpendapat, berekspresi, dll.
Padahal, jika kita periksa, maka terdapat janji-janji yang semestinya bisa ditunaikan dan akan membawa kemajuan republik antara lain: Dalam visi misi Jokowi-JK, yang nantinya akan menjadi bagian tak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2014-2019, mereka berjanji: akan memperkuat kehadiran negara dalam reformasi sistem hukum dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; mengevaluasi produk hukum yang diskiminatif, mengevaluasi produk hukum yang bertentangan dengan HAM; dan membentuk pengadilan HAM untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.
Tetapi apa yang terjadi, hingga di ujung masa kepemimpinannya, indikasi pemenuhan janji itu belum nampak. Dapat dipahami, bahwa agenda pembangunan hukum, termasuk penanganan pelanggaran HAM harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan instabilitas baru di tengah pemerintahan dan masyarakat. Harus diakui pula, bahwa di bidang hukum, pemerintah secara umum memperoleh reward yang baik dari (a) pembelaan pada isu antikorupsi dan (b) deregulasi peraturan pada sektor ekonomi dan bisnis. Selebihnya, publik masih belum menunjukkan kepuasan pada sektor pembangunan hukum dan pemajuan HAM.
Beberapa hal yang masih menjadi perhatian publik adalah: penanganan intoleransi. Kampanye pemerintah sudah cukup kuat tetapi dalam penegakan hukum justru menimbulkan masalah baru pada kebebasan berekspresi. Penegakan hukum juga mengena/menyasar pada kelompok minoritas. Sejumlah isu terkait tempat ibadah yang tidak bisa dibangun sangat menganggu harmoni dan terus menerus memperburuk citra Indonesia. Perlu satu langkah simbolik dari presiden untuk memperkuat citra kepemimpinan toleran dan plural; penanganan perda diskriminatif, intoleran, dan mekanisme preventif yang kuat di tubuh pemerintah untuk memastikan perda-perda dibuat dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia; penataan sistem pemidanaan dan lembaga pemasyarakatan; penanganan pelanggaran HAM masa lalu; politik hukum pemajuan HAM pada pemerintahan yang existing.
Atas masalah yang dikemukakan, sejumlah usulan penanganan sudah banyak disiapkan oleh kalangan masyarakat sipil; sudah didiskusikan dengan kementerian terkait termasuk KSP; dan tinggal membutuhan perintah politik presiden.
Saya mendorong, di tahun inilah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk memenuhi rencana penanganan pelanggaran HAM masa lalu, sebagaimana tertuang dalam Nawacita dan RPRJMN. Pada tahun politik di 2018-2019 ini, presiden cukup memberikan sinyal yang menunjukkan bahwa penanganan pelanggaran HAM akan ditangani pada periode II. Apa yang sudah direncanakan, terkait pembentukan Komite Kepresidenan Penanganan Pelanggaran HAM masa lalu atau nama lainnya, diharapkan dapat direalisasikan.
Memang secara politik kebijakan ini kurang memberikan insentif elektoral massif, tetapi tetap memberikan dampak substantif memperkuat kepercayaan publik pada pemerintahan yang memenuhi janjinya. Secara paralel, tapi bukan maksud yang utama, pembentukan komite ini juga bisa berdampak pada pelemahan elektoral kandidat lawan, yang justru selama ini diasosiasikan sebagai aktor pelanggaran HAM. Pada 2014, sebagai tanggung jawab moral gerakan HAM, kami kelompok masyarakat sipil dan korban serta keluarga korban secara terbuka mengkampanyekan hal yang sama, yakni penolakan pemimpin pelanggar HAM.
Sebagai penutup, betapapun prestasi Jokowi-JK di bidang pembangunan infrastruktur dan pengendalian fiskal patut dibanggakan, tetapi harus diakui pula bahwa atas nama prioritas pembangunan, dan secara khusus pembangunan infrastruktur, kepemimpinan Jokowi belum berimbang untuk memberikan perhatian pada bidang-bidang yang lain, yang juga sangat fundamental, seperti reformasi hukum dan legislasi yang berkeadilan, pemajuan pemberantasan korupsi, dan pemajuan hak asasi manusia.
Akan halnya harapan terhadap Paslon no 02 dalam Pilpres 2019 mendatang, seperti disinggung di atas justru adalah bagian dari masalah yang harus ditunaikan, karenanya tidak perlu diulas berkepanjangan. Jika ada pun sikap dan manuver-manuver yang ditampakkan dalam soal penyelesaian isu pelanggaran HAM lebih merupakan upaya penciptaan mesin binatu atas prestasinya dalam pelanggaran HAM masa lalu. (ast)