Apakah Jokowi bisa menang 2019?  Prabowo bagaimanapun sedang naik daun. Sedangkan selama empat tahun terakhir, di era Jokowi, Neoliberalisme dan memburuknya ekonomi telah memukul kehidupan kaum petani/petambak (padi, tebu, bawang, garam dll) dan memukul kaum nelayan karena kebijakan Jokowi tidak berpihak pada jutaan rakyat kecil itu. Nawacita dan Trisakti terkubur makin dalam lagi, disebabkan Neoliberalisme ekonomi dan perburuan rente yang berwatak pesta pora oligarki demi pembiayaan politik yang ria.  Di tengah fluktuasi ekonomi global, dari pelbagai laporan media. tampak bahwa pemerintahan Jokowi malah melakukan pelbagai kelemahan dan kesalahan kebijakan ekonomi dan sosial, yang mencakup 11 persoalan yang dikhawatirkan dan diprediksi menggerus elektabilitas Jokowi sampai titik nadir yakni:

Pertama, Target pemerintah agar pertumbuhan ekonomi 7 persen gagal dicapai Jokowi-JK, bahkan ekonomi merosot jadi 5%, suatu bukti kegagalan. Sementara impor pangan oleh Mendag Enggartiasto telah memukul dan meluruhkan ekonomi jutaan kaum petani pangan maupun peternak. Jutaan kaum tani dan petambak garam sudah tergerus ekonominya dan menjerit karena tidak ada pertolongan dari pemerintah yang membiarkan ‘’pesta pora’’ para pemburu ekonomi rente (rent seekers) di sektor pangan (padi,tebu, kedelai,garam,daging dll) yang meraup trilyunan rupiah. Mereka, para pemburu rente itu, terutama 9 Naga dan kelompok elite  jaringannya,  ingin pesta pora lagi dengan nafsu memenangkan Jokowi 2019, karena merekalah para oligarki di balik Jokowi-Maruf yang meraup trilyunan rupiah dari impor pangan/energi. Akibatnya, kekecewaan dan derita ummat Islam yang umumnya petani, buruh, petambak, dan kaum miskin lainnya, makin mendalam.

Kedua, Kaum Nelayan juga terpukul oleh kebijakan Menteri Kelautan Susi Pujiastuti yang senangnya menenggelamkan kapal asing pencuri ikan (illegal fishing), namun tidak ada kebijakan Susi yang memberdayakan dan mensejahterakan kaum nelayan. Terlampau banyak nelayan yang dikecewakan Menteri Susi karena tidak diberdayakan, tidak dilayani dan tidak disejahterakan, tidak diperkuat dengan alat produksi.

Ketiga,  Pemerintahan Jokowi mengabaikan dan tidak mengakomodasikan kepentingan kaum buruh dimana gerakan-gerakan buruh yang besar dan berpengaruh, ternyata diabaikan. Bahkan pemerintah hanya mengakomodasikan gerakan buruh yang jadi penjilat kekuasaan semata.

Keempat, pemerintah Jokowi abaikan nasib guru-guru honorer yang mencapai sekitar 600 ribu  guru honorer yang masa depannya tidak menentu. Kekecewaan mereka berlipat dan kerabat-famili-keluarga besar mereka terpukul pula.

Kelima, Empat tahun terakhir pemerintah Jokowi mengabaikan kaum petani komoditi di luar Jawa yang umumnya bergerak di bidang pertanian sawit,kopra,karet,coklat  dimana harga produk mereka sudah jatuh 60-70% dan itu sangat memukul kaum tani di luar Jawa tersebut. Mereka menjadi putus asa dan sangat kecewa atau marah kepada Jokowi.

Keenam, pemerintah Jokowi hanya fokus pada infrastruktur dan pencarian modal asing/investor asing, namun mengabaikan kondisi kaum tani dan nelayan serta buruh maupun UMKM yang makin luruh dan melemah, tergerus oleh kenaikan nilai dolar AS dan merosotnya rupiah serta merosotnya daya beli rakyat.

Ketujuh, diluar factor ekonomi itu, Jokowi yang memasang Maruf Amin untuk memikat ummat Islam dan meredam kekecewaan kaum Muslim kepadanya, terbukti tidak berhasil. Sebab Maruf Amin gagal meredam kekecewaan dan kekesalan ummat Islam pada pemerintah.  Bahkan pemerintah Jokowi dikelilingi oleh elemen-elemen dan elite yang anti-Islam atau phobia Islam yang membuat kaum Muslim makin berjarak dengan Jokowi.

Kedelapan, meski dua tahun terkahir Jokowi dan elite sekeliling istana berusaha mendekati pesantren-pesantren dan kaum Muslim serta merangkul Maruf Amin sebagai cawapresnya, terbukti ummat Islam gagal diyakinkan oleh mereka. Bahkan kaum Muslim makin meninggalkan Jokowi.

Kesembilan, Jokowi dan para pejabat pembantunya berusaha mengadakan pendekatan ke pesantren-peantren daerah/pedesaan  dan kaum Muslim perkotaan, namun kebijakan Jokowi yang mengabaikan kaum tani dan nelayan serta UMKM malah menjauhkan Jokowi dari Muslim. Para aparat dan elite Jokowi dalam berwacana dan bertindak malah sering memojokkan kaum Muslim, melakukan kooptasi, koersi dan intimidasi  Dengan kondisi ekonomi-politik dan sosial budaya yang tidak menguntungkan itu, Jokowi gagal menyatukan ummat Islam di pihaknya, bahkan menjadi kekuatan oposisi yang makin mengental.

Kesepuluh, masyarakat warga (civil society) kecewa dan marah meski dalam posisi ‘’silent’’ tatkala ada dugaan 31 juta tambahan E-KTP yang dinilai sebagai DPT bermasalah.Mayoritas rakyat melihat,  adanya 31 juta suara tambahan dalam DPT bermasalah itusebagai perbuatan yang tidak amanah, tidak adil dan berbau kriminal.

Kesebelas,  Ramainya kabar, laporan dan rumor di masyarakat madani mengenai isu soal kebijakan KPU yang membolehkan sekitar 11 juta orang gila masuk DPT untuk memilih dalam Pilpres/Pileg  2019 dinilai ummat Islam sangatlah tidak adil dan tidak waras serta tidak bernalar karena dalam Islam,   orang gila itu lebih rendah derajat dan moral-mentalnya daripada anak yang belum akil baliq. Dan di dunia ini, tidak ada negara yang mengijinkan orang gila boleh memilih atau memberikan suara. Namun KPU era Jokowi sebagaimana dikabarkan di media sosial, malah membolehkan 11 juta orang gila itu memilih di pilpres/Pileg 2019 dan itu menjadi sinyal miring dan minor selalu. Harus ada koreksi dan control demokratis untuk soal ini.

Dengan melihat fakta-fakta dalam analisa di atas, maka luar biasa kalau Jokowi bisa menang di Pilpres 2019. Sebab memburuknya ekonomi,dan kondisi sosial-budaya yang mempertajam jarak antara Jokowi dan ummat Islam, telah membuat prospek Jokowi untuk menang di Pilpres 2019 sangat buram dan muram. Para analis menilai, Jokowi hampir pasti kalah karena ditinggalkan ummat Islam (rakyat).  Dulu banyak petani, buruh, pedagang kecil dan kaum miskin memilih Jokowi 2014, namun keadaan ekonomi yang memburuk dan ketegangan kubu Jokowi dengan ummat Islam yang berkelanjutan, amat mendorong mereka berpikir ulang untuk memilih Jokowi-Maruf Amin kali ini. Ada tanda-tanda zaman bahwa arus besar rakyat memilih Prabowo-Sandi, dan itu berarti Jokowi-Maruf Amin kalah. Semoga catatan  di atas, sekiranya tak terlalu meleset,  jadi hikmah dan pelajaran berharga bagi kubu Jokowi menyusul luruhnya Trisakti dan Nawacita dua tahun ini.

 

(Catatan F Reinhard, anak kandung NU kultural, peneliti ekonomi-politik dan budaya pada Indonesian Research Group dan the New Indonesia Foundation )