Esensinews.com – Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Edy Rahmayadi kembali menjadi perbincangan di media sosial usai kegagalan Indonesia di Piala AFF 2018. Pemantiknya, Edy tidak mau menjawab apa PSSI akan melakukan evaluasi internal setelah hasil buruk yang dialami timnas pada kejuaraan ini.
“Wartawannya harus baik. Kalau wartawannya baik. Timnasnya juga baik,” kata Edy pada Kamis (21/11/2018) seperti dilansir Kompas TV.
Pemberitaan terhadap ucapan Edy ini tak hanya di media massa Indonesia, tetapi juga media luar negeri yang sasaran pembacanya tingkat Asia. Media foxsportsasia.com, misalnya, memberitakan pernyataan Edy dengan judul “AFF Suzuki Cup 2018 : PSSI Chairman Edy Rahmayadi states ridiculous reason for Indonesia national team’s failure.”
Jika diambil intisarinya, foxsportsasia.com menulis pernyataan Edy adalah sesuatu yang konyol, bodoh, tidak beralasan, atau patut untuk ditertawakan.
Sekretaris Umum The Jak Mania Diky Soemarno pun menyayangkan respons Edy atas pertanyaan wartawan tersebut. Padahal, kata Diky, jawaban Edy atas pertanyaan itu telah ditunggu-tunggu para penikmat sepak bola, termasuk dirinya. Sebab, tidak ada yang lebih kompeten menjawab pertanyaan itu selain Edy.
“Timnas itu jadi tanggung jawab federasi iya pasti. Namun, kan, bukan hanya membentuk timnas baik, tapi menciptakan timnas baik,” kata Diky Minggu (25/11/2018).
Selaku penanggung jawab, federasi harus menyampaikan bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Bukan hanya saat berhasil, tapi federasi juga harus berani bersikap ketika mengetahui ada kegagalan pada timnas mereka.
“Mau tidak mau yang tanggung jawab federasi dong, kan, ada masalah apa itu bisa disampaikan pada pemerintah,” kata Diky.
“Itu yang kami harapkan,” kata Diky menambahkan.
Diky menuturkan, dia tidak meminta jawaban yang detail dan konkret dari Edy sebagai Ketua Umum PSSI, tetapi sekader komitmen saja cukup. Sayangnya, belum ada pernyataan PSSI terkait tanggung jawabnya terhadap kegagalan timnas. Semestinya, kesulitan yang dihadapi PSSI dan timnas harusnya disampaikan.
“Wacana ini saja belum ada,” kata Diky. “Sebetulnya ucapan [Edy Rahmayadi] ‘kami akan melakukan evaluasi terhadap kegagalan timnas’ itu cukup banget.”
Jurnalis Harian Kompas yang juga analis olah raga, Budiarto Shambazy mengatakan pertanyaan wartawan kepada Edy adalah pertanyaan normatif dan lumrah dilakukan.
“Itu bukan pertanyaan yang sulit,” kata Budiarto dikutip dari Tirto.id. “Ini [jawaban Edy Rahmadyadi] sangat meremehkan publik.”
Budiarto menilai pertanyaan wartawan tersebut bagus. Pertanyaan itu bahkan bisa dianggap mewakili rasa penasaran sebagian besar pecinta sepak bola tanah air. Sebab, semua orang tentu ingin tahu apa langkah PSSI untuk memperbaiki prestasi Indonesia di AFF yang malah melorot.
“Beliau enggak mau menjawab pertanyaan yang penting soal evaluasi itu. Padahal ketum-ketum sebelumnya jika ditanya evaluasi pasti menjawab,” kata Budiarto.
Menurut Budiarto, Edy seharusnya tidak perlu mengelak jika dia memang siap menangani sepak bola Indonesia. Padahal, kata Budiarto, masih ada pertanyaan yang lebih ‘pedas’ daripada itu. Misalnya soal kesiapan mundur Edy karena kegagalan timnas. Dari dulu pertanyaan itu selalu bisa dilontarkan apabila timnas gagal meraih prestasi.
Budiarto menegaskan, Edy tak seharusnya mengelak dari pertanyaan serius, apalagi seakan menyerang balik wartawan. Pertanyaan itu bukanlah untuk mendiskreditkan Edy dengan posisinya sebagai pimpinan tertinggi PSSI.
Sebab, kata Budiarto, bila timnas Indonesia sukses, pertanyaan lumrah yang akan muncul adalah soal keberhasilan, begitu pun sebaliknya.
“Menyerang tidak. Itu pertanyaan umum saja karena situasional yang tengah terjadi. Itu lumrah diajukan oleh pers setelah biasanya kita kalah,” kata dia.
Koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali menilai pernyataan Edy sangat kacau. Dia merasa Edy tak siap menjawab pertanyaan tersebut karena bentroknya tugas sebagai gubernur di Sumatera Utara dan Ketua Umum PSSI.
“Saya melihat itu omongan emosi dari Edy yang harusnya tak disampaikan,” kata Akmal.
Akmal menyatakan tak ada urusannya wartawan dengan tim nasional. Faktanya, tim nasional bisa sukses karena pembinaan dan persiapa yang matang. Kegagalan timnas tak bisa dilepaskan dari PSSI yang melakukan perubahan besar jelang kompetisi, misalnya mengganti jabatan pelatih Luis Milla dengan Bima Sakti.
“Blunder pergantian pelatih, kemudian kondisi fisik para pemain. Pemain tidak dalam kondisi terbaik karena terpecah fokus antara timnas dengan kompetisi Liga 1,” kata Akmal.
Akmal menilai gaya Edy yang tak bisa berkomunikasi dengan baik secara jujur tersebut yang selama ini dipertahankan. Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria pun dianggap sama saja dengan Edy yang tak memberikan keterangan bermanfaat.
“Memang beberapa kali ketum PSSI melakukan pernyataan kontroversial dan tidak penting. Itu yang harus dihindari oleh PSSI dan sayang sekali sekjen juga tidak bisa berkomunikasi baik dengan publik,” kata Akmal.
Dengan pemberitaan media asing, Akmal merasa sepak bola Indonesia akan menjadi guyonan internasional. Akmal menganggap, peran Edy sangat besar terhadap hal itu karena pernyataannya memang patut ditertawakan.
“Ini komunikasi tidak bagus dengan media sehingga hanya jadi lelucon dan guyonan masyarakat [internasional]” kata Akmal.
Berbagai sumber