Sedangkan AHY, kata Muzani, selalu menomorduakan agenda kampanye Prabowo-Sandi dibandingkan agenda pribadi atau partainya. “Sudah beberapa kali janjian [kampanye bersama], tapi kemudian belum pas [waktunya]. Pada waktu yang ditentukan, kemudian ternyata AHY ada jadwal lain,” kata dia.
Sebaliknya, Juru Bicara Kogasma Partai Demokrat Putu Supadma Rudana yang mengkritik balik pernyataan Muzani. Ia bahkan menganggap pernyataan Muzani hanya menambah masalah yang tidak bermanfaat.
“Sekjen Partai Gerindra memberikan informasi yang tidak utuh, tendensius, dan menyesatkan publik serta berusaha menyeret Komandan Kogasma Partai Demokrat [AHY] pada persoalan yang tidak produktif,” kata Supadma dalam keterangan tertulis, Rabu (14/11/2018).
Supadma menegaskan, pembicaraan ini memang pernah dibahas di kediaman SBY, di Mega Kuningan Timur, Jakarta, pada 12 September 2018. Saat itu, kata Supadma, di hadapan Prabowo dan SBY, Sandiaga mengungkapkan sejumlah janji dan meminta kesediaan AHY bersafari bersama. AHY saat itu menyanggupi ajakan Sandiaga, tapi jadwal kampanye bersama itu belum ditentukan.
“Hingga hari ini, Sandiaga Uno bukan hanya tidak ada itikad baik untuk menepati janji-janjinya itu, tetapi juga tidak pernah melakukan komunikasi lagi dengan AHY,” kata Supadma.
Dia mendesak agar Sandi segera melakukan pertemuan dan menjelaskan dengan rinci apa yang dia kehendaki untuk menang. “Jika benar pasangan ini [Prabowo-Sandi] serius untuk menang, maka janji-janji yang pernah diucapkannya agar direalisasikan, bukan janji dibayar dengan janji,” kata Supadma.
Friksi yang terjadi dalam koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga ini tidak hanya menimpa Demokrat dan Gerindra. Sebelumnya, partai besutan Prabowo ini juga bersitegang dengan PKS. Kedua partai ini memperebutkan kursi wakil gubernur DKI Jakarta yang ditinggal Sandiaga. Setelah beradu tegang berbulan-bulan, akhirnya disepakati posisi tersebut akan diisi salah satu kader PKS.
Perseteruan koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga ini pun mendapat sorotan dari lawan politiknya. Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Raja Juli Antoni menilai Koalisi Indonesia Adil Makmur sejak awal tidak mempunyai pondasi yang kuat.
Hal itu bisa jadi benar karena pada waktu penetapan nama cawapres pendamping Prabowo, Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat membutuhkan waktu cukup lama. “Sejak awal bangunan koalisi mereka sangat rapuh. Koalisi kardus. Ditiup angin sepoi-sepoi saja runtuh apalagi badai,” kata Toni pada reporter Tirto, Kamis (15/11/2018).
Di kubu Jokowi-Ma’ruf Amin bukannya tanpa masalah. PSI yang posisinya sebagai partai pendukung pernah tak sependapat dengan keputusan Jokowi yang memilih Ma’ruf sebagai cawapres daripada Mahfud MD. Namun, Toni mengklaim hal itu sudah selesai.
“Sudah enggak ada. Cuma ada riak-riak kecil di awal penunjukan Kiai Ma’ruf. Sekarang sudah enggak. Solid semua memenangkan paslon ini,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai friksi yang terjadi antara Demokrat dan Gerindra adalah dampak dari gagalnya AHY menjadi cawapres Prabowo. Selain itu, tidak ada dampak elektoral yang didapat dari dukungan Demokrat kepada Prabowo untuk kadernya di daerah.
“Tidak ada jaminan-jaminan yang lain dari mendukung Prabowo-Sandi, makanya itu, kan, menagih. Dari pertimbangan itu wajar jika Partai Demokrat bermain dua kaki. Satu di Prabowo, satu di Jokowi,” kata Ujang kepada reporter Tirto.