Peristiwa pembakaran bendera HTI di acara Hari Santri oleh Banser NU berbuntut panjang.
Polisi langsung mengambil tindakan dengan mengamankan anggota Banser yang melakukan pembakaran. Bukan, mereka bukan menjadi tersangka tapi justru menjadi saksi adanya provokasi yang dilakukan sekelompok orang yang nekat mengibarkan bendera HTI ketika Banser NU sedang merayakan Hari Santri di Garut.
Kapolda Jabar Irjen Agung Budi Maryoto langsung mengeluarkan statemen, bahwa yang dibakar Banser NU bukan bendera tauhid, tetapi bendera HTI. Bendera HTI memang memiliki model yang sama dengan bendera kelompok teroris dunia seperti Alqaeda dan ISIS, sama-sama bertuliskan kalimat tauhid dan berwarna hitam.
Kenapa mereka pakai warna hitam? Karena mereka meyakini hitam itu adalah warna perang saat masa Rasulullah SAW. Jadi, bendera hitam adalah bendera perang.
Hizbut Tahrir Indonesia memang licik. Mereka bersembunyi di balik kalimat Tuhan, supaya mudah memprovokasi masyarakat awam yang terpesona dengan kalimat tauhid yang ada di bendera itu. Masyarakat awam tidak banyak yang tahu bahwa Alqaeda dan ISIS mempunyai bendera yang sama dan digunakan sebagai simbol untuk membantai sesama manusia.
Sejak lama HTI menggunakan bendera itu untuk menyebarkan ajaran “negeri khilafah”nya. Setiap demonstrasi yang mereka lakukan untuk menarik perhatian masyarakat terhadap kegiatan mereka, bendera hitam itu selalu muncul disandingkan dengan bendera lain yang berwarna putih.
Dengan begitu, HTI secara setahap melakukan legitimasi di pemikiran bahwa organisasi mereka adalah organisasi pelindung Islam. Padahal sejatinya mereka sedang memfitnah Tuhan.
Karena bendera tauhid itulah, simbol-simbol mereka tetap ada sebagai bagian dari eksistensi mereka. Mereka ingin mengingatkan masyarakat bahwa HTI tidak hilang. Dan ketika ada yang merampas bahkan membakar bendera itu, rakyat akan menjadi tameng mereka. Keji nian.
Seorang teman berkata, “Coba HTI berani mengibarkan bendera itu di Arab Saudi sana. Mereka sudah pasti ditangkap karena makar dan bisa dipancung kepalanya.”
HTI memang dilarang di Saudi dan banyak negara lainnya karena mengancam kedaulatan. Dan simbol-simbol mereka, termasuk bendera hitam itu, tidak boleh beredar di negara yang mengharamkan keberadaan mereka.
Indonesia adalah negara termuda yang melarang kegiatan HTI, dan baru menyadari bahayanya sehingga membubarkan kegiatan mereka tahun 2017 lalu. Hanya, Indonesia masih membiarkan simbol-simbol HTI seperti bendera hitam itu karena dianggap tidak berbahaya. Mungkin baru sekarang pemerintah sadar betapa bahayanya simbol-simbol itu ketika beredar di jalanan.
Seharusnya HTI harus diperlakukan sama seperti Partai Komunis Indonesia atau PKI. Sebagai sama-sama organisasi terlarang, simbol mereka juga tidak boleh dipertontonkan di khalayak ramai. Bukan karena takut, tetapi supaya tidak menimbulkan perpecahan. Bahaya jika simbol itu dianggap kebenaran oleh masyarakat awam yang lalu menjadikannya sebagai tameng seperti yang dilakukan HTI pada Banser NU saat di Garut kemarin.
HTI sejatinya jauh lebih berbahaya dari PKI. PKI sudah musnah karena ideologi komunis tidak menarik lagi sesudah era perang dingin Amerika dan Uni Soviet selesai. Sedangkan HTI membawa nama agama yang sudah terbukti membawa perpecahan di banyak negara seperti yang terjadi di Suriah, Libya, Irak dan Afghanistan. Jika tidak segera ditindak, HTI akan membawa api ke negeri tercinta ini.
Meskipun HTI dengan licik mengatakan bahwa mereka tidak punya bendera, tapi sebuah kelompok, komunitas atau organisasi pasti membawa simbol untuk menyatukan mereka. Tanpa simbol mereka bukan apa-apa.
HTI adalah contoh terbaik dari pepatah “Serigala berbulu domba”. Mereka adalah kawanan serigala yang menyusup di antara domba-domba yaitu kalangan muslim awam. HTI berbaju mereka, untuk kemudian suatu saat memangsa mereka satu persatu.
Melawan tipu-tipu HTI tidak bisa tidak, harus membasmi mereka seakar-akarnya. Karena ideologi HTI adalah ideologi makar yang sudah membuat banyak negara terpecah karena membiarkannya.