Esensinews.com – Berbagai kisah miris yang datang dari pekerja migran asal Indonesia masih menjadi sorotan selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Pahlawan devisa negara itu masih kerap mendapatkan perlakuan tidak semestinya di negara tempat mereka bekerja. Mulai dari jam kerja yang tidak manusiawi hingga nyawa yang terancam akibat tindak kekerasan yang diterima dari majikannya.
Saat pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu, Jokowi berjanji akan menjamin hak-hak dan keselamatan pekerja migran di luar negeri dan memasukkannya ke dalam program Nawacita.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai penunaian janji politik soal pekerja migran sudah terlihat. Salah satunya lewat pengesahan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Undang-undang itu lantas menggantikan UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Undang-undang pekerja migran yang baru itu memiliki sanksi yang lebih berat ketimbang UU lama bagi para pelanggaranya.
Kriminalsiasi terhadap buruh migran masih kerap terjadi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Selain itu, para pekerja migran Indonesia juga menerima jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan. Melalui UU baru ini, pemerintah juga menyediakan pelayanan dan perlindungan pekerja migran dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui layanan terpadu satu atap (LTSA).
“Saya kira memang ada beberapa hal yang patut diapresiasi dalam capaian Nawacita Jokowi misalnya adanya UU baru UU perlindungan pekerja migran Indonesia,” tutur Wahyu seperti dilansir dari CNNIndonesia.com, Selasa (16/10).
Ia juga mengapresiasi langkah kebijakan politik luar negeri yang berpihak kepada buruh dan pekerja migran Indonesia yang diimplementasikan oleh Kementerian Luar Negeri. Pada bulan lalu misalnya, Kementerian luar negeri menetapkan portal perlindungan bagi warga dan pekerja migran asal Indonesia di Korea Selatan.
Dalam keterangan resmi, pemerintahan Jokowi menyatakan terdapat penurunan kasus jumlah TKI bermasalah dalam 3 tahun terakhir. Pada 2015, terdapat 30.661 TKI kemudian turun menjadi 19.029 (2016) dan 15.157 (2017).
Tak hanya itu, Jokowi juga membentuk 21 Satgas TKI dalam kurun waktu 2015-2016. “Melalui satgas TKI, dalam kurun waktu 2015-2016 telah dicegah 2.894 TKI nonprosedural,” demikian keterangan tersebut.
Eksekusi Mati Buruh Migran
Kendati demikian, masih terdapat beberapa tantangan dan hal-hal yang perlu dikritisi dalam implementasi Nawacita Jokowi-JK soal perlindungan hak dan keselamatan buruh migran di luar negeri. Hal yang paling mencolok adalah eksekusi mati pekerja migran Indonesia di negara tempatnya bekerja.
Migrant Care mencatat setidaknya ada tiga pekerja migran asal Indonesia yang dieksekusi mati. Kasus paling baru menimpa Muhammad Zaini Misrin, pekerja migran asal Madiun, Jawa Timur. Nyawanya harus melayang di tangan algojo pemerintahan Arab Saudi karena tuduhan pembunuhan majikan yang diklaim tidak dilakukannya.
Selain Misrin tiga tahun sebelumnya ada dua nama TKI yang nyawanya harus melayang di tangan algojo Pemerintah Arab Saudi. Keduanya adalah Siti Zaenab dan Karni yang merupakan TKI asal Jawa Timur.
“Tiga kasus TKI kita yang sudah dieksekusi. Itu PR besar sebenarnya bagi pemerintahan Jokowi,” tutur Wahyu.
WNI terpidana mati di Arab Saudi, Satinah, berhasil pulang ke tanah air. Dok. Kementerian Luar Negeri RI
|
Belum lagi, berdasarkan catatan Migrant Care setidaknya ada sekitar 180 pekerja migran yang terancam hukuman mati. Pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia (120 orang) dan Arab Saudi (20 orang) adalah yang paling banyak terancam hukuman mati.
“Itu merupakan salah satu tantangan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri,” tutur Wahyu.
Selain itu, ujar Wahyu, pemerintah kerap kali salah dalam menentukan kebijakan. Salah satunya adalah terkait moratorium TKI ke Arab Saudi. Meski kebijakan ini diteken pada 2011 lalu saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi juga tak kunjung mencabut moratorium ini.
TKW asal Indonesia Rusmini Wati dihukum cambuk dan dipenjara di Arab Saudi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Kebijakan moratorium ini berdampak pada banyaknya jumlah pekerja migran ilegal yang berangkat ke Arab Saudi. Pasalnya Arab Saudi masih menjadi magnet bagi para pekerja migran Indonesia untuk mencari nafkah.
“Banyak penempatan yangundocumented, yang ilegal kemudian mereka terjebak human traffickingjadi ambil kebijakan yang kadang-kadang keliru,” tutur dia.
Tantangan lainnya lanjut dia, adalah belum terdapat peraturan-peraturan turunan untuk implementasi dari UU Nomor 18 Tahun 2017. Ketiadaan peraturan-peraturan turunan itu menjadi salah satu penghambat untuk implementasi dari UU tersebut.
Wahyu mengatakan pemerintah sangat lamban dalam membuat aturan-aturan turunan dari UU PPMI itu. Pasalnya UU PPMI sudah berusia satu tahun sejak pertama kali disahkan.
“Untuk memastikan UU itu berjalan sesuai amanatnya masih sangat lambat,” tutur dia.
Wahyu mengatakan kerikil dan tantangan dalam menunaikan nawacita mengenai perlindungan buruh migran di luar negeri dapat terwujud dengan membuat peraturan-peraturan turunan untuk mengimplementasikan UU PPMI.
“Kalau peraturan turunan bisa segera dibuat satu tahun ke depan, kerikil-kerikil itu bisa teratasi, Nawacita Jokowi soal perlindungan pekerja migran asing dapat terwujud,” kata Wahyu.
Sekretaris Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Savitri mengatakan akibat dari belum keluarnya aturan turunan, UU PPMI yang baru masih menggunakan peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang lama dalam teknis implementasinya.
“Yang menjadi permasalahan UU ini belum bisa diimplementasikan karena masih menunggu peraturan turunan yaitu PP dan Permen. Artinya di lapangan masih menggunakan pola yang lama,” tutur Savitiri kepadaCNNIndonesia.com.
“Jangan sampai pagar-pagar yang ada melalui UU PPMI ini kalau tidak diimplementasikan dengan benar ya sama saja bohong” tutur dia.
Salah satu peraturan turunan dan peraturan yang bersifat implementatif adalah Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan kekerasan Seksual (PKS). Meski kekerasan seksual telah diatur di UU PPMI, aturan tersebut belum terlalu kuat.
Pembahasan mengenai kekerasan seksual di UU PPMI, kata Savitri, masih terlalu umum. Tanpa dibahas rinci mengenai definisi dari pelecehan seksual itu sendiri. Akibatnya para pekerja migran khususnya perempuan menjadi tidak terlalu terlindungi dengan ketiadaan peraturan turunan ini.
Soal buruh migran, memang belum lagi selesai. Masalah ini, bisa jadi membayangi perjalanan Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang.
Buruh Migran Masalah Rumit
Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pereira tak memungkiri jika persoalan terkait buruh migran sulit diatasi. Menurut dia, perlindungan terhadap mereka menjadi persoalan kompleks yang mempunyai rantai permasalahan yang panjang.
“Dan kebanyakan pokok permasalahannya berakar di dalam negeri,” kata Andreas saat dihubungiCNNIndonesia.com, Jumat (19/10).
Andreas menilai sedianya persoalan terkait buruh migran tidak dilihat sebagai bentuk ketidakmampuan Jokowi dalam memimpin. Pasalnya masalah buruh berkaitan dengan kemiskinan, proses rekrutmen tenaga kerja, pendidikan dan kesiapan atau keahlian warga yang akan bekerja di luar negeri, serta terkait dokumen atau kelengkapan WNI di luar negeri.
Terkait dengan hal itu, menurutnya, ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini. Persoalan ini juga sudah berlangsung selama bertahun-tahun sebelum Jokowi memimpin pemerintahan.
“Jadi, persoalan ini tidak bisa hanya dilihat di ujung permasalahan ketika terjadi peristiwa hukuman, kecelakaan atau peristiwa yang merugikan buruh migran,” kata dia.
Politikus PDIP Eva Sundari menyarankan Jokowi buat tim khusus urus buruh migran. (Detikcom/Ari Saputra)
|
Buat Tim Khsusus Urus Buruh Migran
Senada, politikus PDIP Eva Sundari tak memungkiri jika Jokowi belum maksimal dalam menanggapi persoalan terkait buruh migran karena belum membuat aturan turunan dari UU PPMI. Menurut Eva, penerbitan aturan turunan UU PPMI nantinya bisa lebih melindungi buruh migran.
“Turunan UU itu tidak bisa diharapkan efektif untuk menolong mereka yang saat ini sudah diputus hukuman mati. Turunan-turunan aturan itu penting untuk segera diadakan demi mencegah para potensial korban yang ada,” kata Eva.
Lebih jauh, kata Eva, pemerintah harus menemukan formulasi dan juga berdiplomasi dengan negara setempat untuk membicarakan masalah buruh migran yang terancam dihukum mati. Jokowi, kata Eva, harus segera membentuk tim khusus untuk menjalankan misi membebaskan atau mengubahnya menjadi hukuman seumur hidup para terpidana tersebut.
“Strategi ini, pernah berhasil di masa lampau. Jadi bisa menjadi opsi untuk diteruskan,” kata dia.
Menurut Eva, Jokowi juga tidak perlu mencabut moratorium TKI ke Arab Saudi karena moratorium itu sudah sesuai dengan Nawacita. Namun yang perlu dibenahi adalah masalah terkait peningkatan kapasitas kemampuan buruh migran yang akan bekerja di luar negeri.
Sehingga mereka yang bekerja di sana tidak sebagai buruh kasar atau pembantu rumah tangga melainkan sebagai tenaga ahli.
“Tidak perlu dicabut. Itu sesuai dengan Nawacita, kita harus kirim yang skill labour. Sayangnya moratorium tidak diikuti syaratnya agar semua tata kelola domestik direformasi,” kata Eva.
Eva juga menyarankan agar pemerintah tingkat daerah juga berbenah mengevaluasi peraturan, balai pelatihan, dan integrasi informasi untuk buruh migran.
“Perbaikan tata kelola adalah bagian dari penguatan perlindungan,” ujarnya.