Oleh : Ahmad Arif (Pemerhati Gempa)
Kerentanan Kota Palu terhadap gempa, tsunami, dan likuifaksi telah lama diketahui pemerintah. Namun, kota ini dibiarkan tumbuh tanpa kendali, dengan penduduk mayoritas tak mengenal riwayat bencana di kotanya.
Kerentanan Kota Palu terhadap gempa bumi dan tsunami berulangkali disampaikan JA Katili, lulusan pertama doktor bidang geologi dari Institut Teknologi Bandung dan juga di Indonesia sejak 1970-an. Katili pula yang menamai sesar ini sebagai Palu Koro, karena membelah dari Teluk Palu di sebelah utara hingga ke Koro di sekitar Teluk Tondano sepanjang sekitar 1.000 kilometer.
Ketika menjabat Dirjen Pertambangan Umum pada tahun 1973-1984, Katili merintis pembentukan Badan Kerja Nasional Gempa Bumi. Alasan dia saat itu, banyak daerah di Indonesia rentan gempa bumi dan tsunami, namun studi tentangnya terbatas. Salah satu sumber gempa yang dikhawatirkan Katili adalah Kota Palu (Kompas, 20 Juli 1976).
Dalam buku biografinya, Harta Bumi Indonesia (2007), Katili menyebutkan, “Ada benarnya jika rakyat yang tinggal di Kota Palu takut ancaman tsunami karena kota tersebut berada di ujung patahan dan terletak di suatu cekungan tarikan pula.”
Katili mempertanyakan mengapa pemerintah waktu itu memilih Palu sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1964. Namun, pengetahuannya tentang kerentanan bencana di Kota Palu tak bisa membendung Keputusan Pemerintah Pusat untuk menjadikan Kota Palu sebagai Kota Administratif sejak tahun 1978.
Albertus Christiaan Kruyt dan Nicoalus Andirani dalam bukunya (1912) menulis bahwa, Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Sekalipun Kerajaan Palu disebut telah ada sejak tahun 1796, namun hingga era kolonial, Kota Palu masih belum berkembang. Belanda memilih menjadikan Donggala sebagai pusat Afdeling Sulawesi Tengah.
“Awalnya, orang-orang Kaili yang merupakan penduduk awal di kawasan ini memilih tinggal di dataran tinggi di sekitar lembah Palu,” kata arkeolog yang juga Wakil Kepala Museum Daerah Sulawesi Tengah, Iksam.
Salah satu alasan penduduk lokal ini memilih tinggal di dataran tinggi, kemungkinan adalah perulangan tsunami di masa lalu sehingga melahirkan istilah bombatalu, atau pukulan tiga gelombang laut yang menghancurkan.
Tingginya frekuensi tsunami ini dikuatkan kajian dari Gegar Prasetya (2001) yang mencatat, Selat Makassar, termasuk Teluk Palu, telah dilanda tsunami hingga 18 kali sejak tahun 1800-an, yang merupakan kejadian paling banyak di Indonesia.
Dibandingkan kejadian sebelumnya, tinggi gelombang tsunami yang melanda Kota Palu kali ini relatif lebih kecil. Misalnya, pada 1927, gempa M 6,3 memicu tsunami hingga 15 meter di Teluk Palu. Tahun 1968, gempa M 7,4 memicu tsunami di Teluk Palu hingga 10 m. Sekalipun tsunaminya lebih tinggi, korban saat itu lebih kecil, yaitu 12 orang tewas pada 1927 dan 200 orang tewas pada 1968. Bandingkan dengan bencana kali ini, yang menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Jumat (5/10) telah mencapai 1.558 jiwa.
Lonjakan korban jiwa, disebabkan bertambahnya kepadatan penduduk Kota Palu, terutama yang menghuni daerah-daerah rentan likuifaksi atau berubahnya tanah menjadi lumpur akibat gempa.
Menurut Iksam, daerah-daerah yang kini mengalami likuifaksi kali ini rata-rata baru dihuni setelah tahun 1970-an. Orang Kaili telah mengetahui likuifaksi ini, yang dalam bahasa lokalnya disebut nalodo, atau tersedot dalam lumpur.
Pertambahan penduduk yang pesat di Kota Palu, membuat kawasan yang secara tradisional dihindari kemudian dijadikan perumahan. Apalagi, Palu juga menjadi magnet yang menyedot migran dari berbagai daerah lain yang tidak memiliki memori adanya bencana di kota ini.
Risiko vs pertumbuhan
Dari aspek gempa bumi dan tsunami, kerentanan Kota Palu juga sudah tercantum dalam Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) yang kemudian diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada September 2017.
Sementara itu, kerentanan likuifaksi Kota Palu sebenarnya juga sudah dipetakan. Laporan penelitian potensi likuifaksi Palu oleh Risna Widyaningrum Badan geologi, Kementerian Energi Sumber Daya Alam pada tahun 2012 menyimpulkan, sebagian besar memiliki potensi likuifaksi sangat tinggi karena lemahnya daya dukung tanahnya, selain dekatnya dari jalur patahan. Di antara daerah sangat rentan likuifaksi yang telah diidentifikasi di antaranya, Petobo. Seperti diketahui, Petobo termasuk paling parah mengalami likuifaksi sehingga menyebabkan 744 rumah hilang.
Sekretaris Badan Geologi Radmono Purbo, kajian likuifaksi di Kota Palu ini dilakukan setelah belajar dari dampak likuifaksi akibat gempa bumi yang terjadi di Padang Pariaman, Sumatera Barat, yang mengubur 400 orang pada 2009. “Setelah itu kami melakukan pemetaan likuifaksi di beberapa kota, termasuk Palu,” kata dia. “Saya yakin, hasil kajian ini sudah disampaikan ke Pemerintah Daerah untuk menjadi pertimbangan dalam pembangunan.”
Meski demikian, hingga terjadinya gempa bumi, mayoritas penduduk Kota Palu bisa dipastikan tak tahu menahu dengan informasi kerentanan kota mereka. “Selama ini, kajian-kajian risiko dan kerentanan bencana cenderung di suatu daerah diabaikan dan tidak dibuka, karena dianggap mengganggu investasi,” kata Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, Djati Mardianto.
Menurut Mardianto, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya bisa menjadi kendali untuk mengurangi dampak bencana, apabila dalam pelaksanaannya memperhitungkan kajian-kajian tentang risiko.
“Masalahnya, RTRW kebanyakan hanya berorientasi ekonomi. Bahkan, sejumlah infrastruktur baru, misalanya Banda Yogyakarta juga dibangun di daerah rentan gempa dan tsunami, selain juga banjir,” kata dia.
Selain Bandara Yogyakarta ini, saat ini ada 16 bandara di Indonesia yang telah dipetakan berada di zona rawan tsunami (Kompas, 16 Juni 2014) Belajar dari kejadian ini, pembangunan kembali Kota Palu harus betul memperhitungkan risiko bencana. Apalagi gempa merupakan siklus yang terus berulang.
Tak hanya bagi Palu, hal ini harusnya juga jadi pelajaran bagi kota-kota lain yang kebanyakan tumbuh mengabaikan daya dukung lingkungan, sementara warganya tuna pengetahuan tentang kerentanan tempat tinggalnya.