ANHAR GONGGONG, sejarawan sohor Indonesia, punya alasan untuk marah dan benci kepada Pasukan Komando Khusus/Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Raymond Westerling. Ayah Anhar beserta kakak dan pamannya tewas di tangan DST di Sulawesi Selatan. Selama Desember 1946 sampai Maret 1947, DST membunuh ribuan warga sipil.
“Bagi rakyat Sulawesi Selatan tindakan pembunuhan brutal yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya, adalah tindakan yang tidak akan bisa dilupakan,” kata Anhar dalam diskusi buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya karya Maarten Hidkes di Universitas Indonesia, Jawa Barat, 28 September 2018.
Anhar mengakui DST telah meninggalkan luka dan dendam mendalam bagi banyak keluarga di Sulawesi Selatan. “Seingat saya pada 1950—1960, setiap menjelang Desember, ada berita bahwa banyak orang Sulawesi Selatan mencari Westerling. Mereka ingin mengajaknya berkelahi dan bertikaman,” kata Anhar.
Tapi di Universitas Indonesia hari itu, Anhar memendam marah dan bencinya dalam-dalam kepada DST. Dia berjabat tangan hangat dengan Maarten Hidskes, anak dari Piet Hidskes, seorang anggota DST di Sulawesi Selatan. Menurut Anhar, marah dan benci tidak akan menjernihkan persoalan sejarah sekitar sepak terjang DST di Sulawesi Selatan.
Maarten Hidskes, kelahiran 1967, berupaya menggali apa yang sebenarnya terjadi di Sulawesi Selatan pada masa 1946—1947. Dia tahu ayahnya mantan anggota DST. “Tapi dia tak pernah sedikit pun cerita tentang pengalamannya di Sulawesi Selatan. Saya pun awalnya tak pernah tertarik menanyakannya,” kata Marteen.
Maarten masih ingat ujian sejarah di sekolah menengah atasnya pada tahun ajaran 1987—1988. Topik ujian itu tentang Belanda dan Hindia Belanda. Pada paket ujian tertera “Di Sulawesi Selatan kasusnya benar-benar lepas kendali. Pada akhir tahun 1946 dan awal tahun 1947, Kapten Westerling dengan penuh kekerasan mengakhiri kerusuhan di Sulawesi. Di kemudian hari cara tindakan seperti itu dianggap sebagai kejahatan perang.”
Isi kepala Maarten waktu itu penuh oleh gagasan anti-perang dan perdamaian antar-bangsa. Dia mengecat rambutnya dengan dua warna dan mengenakan jaket berlambang perdamaian. Dia juga menentang bentuk-bentuk industri militer. “Saat itu bukanlah waktu yang pas untuk bertanya tentang masa lalu militer ayah saya,” kata Marteen.
Suatu hari pada 1992, ayah Maarten menerima kunjungan teman-temannya di rumah. “Di Sulawesi Selatan ada beberapa kejadian yang kita bawa ke liang kubur. Saya sendiri tidak menyaksikan kejahatan perang, tetapi itu pastilah telah terjadi. Pasti,” kata ayah Marteen kepada teman-temannya.
Maarten berada di sebuah ruangan dan mendengar percakapan ayah dan teman-temannya tentang Peristiwa Sulawesi Selatan. Pada diri Maarten muncul dorongan kuat untuk bertanya tentang Peristiwa Sulawesi Selatan itu. Tapi dia masih segan mengeluarkan pertanyaan itu. Hingga akhirnya tiga minggu kemudian ayahnya wafat.
Hari-hari setelah kematian ayahnya, Maarten bertekad untuk mencari tahu sendiri pengalaman ayahnya selama di Sulawesi Selatan pada 1946—1947. Dia datang pada rekan-rekan ayahnya, merapikan kembali surat-surat ayahnya, mengumpulkan guntingan koran lama, dan mengorek-ngorek arsip militer berupa laporan dinas dan rekaman wawancara. Dia melakukannya selama lebih dari 25 tahun. Pada hari-hari pertama mencari tahu pengalaman ayahnya, dia langsung menemukan laporan militer mengerikan tentang Peristiwa Sulawesi Selatan. Dan di situ tertera pula peran ayahnya.
Laporan itu menyebut pergerakan DST di Makassar pada 11 Desember 1946. Mereka masuk ke sejumlah kampung, menembak mati para pejuang Republik, menggeledah rumah-rumah penduduk, dan menginterogasi tiap lelaki dewasa. Anak dan perempuan ditempatkan secara terpisah.
Ayah Maarten berdiri membawa pistol otomatis dengan kedua tangannya di depan dada. Dia mengawasi tiap lelaki dewasa penduduk kampung. Tak jauh dari tempat ayah Maarten berpijak, Kapten Raymond Westerling berjalan masuk kampung. Juru bahasa setempat bernama Gerrit mengikuti di belakangnya.
Westerling berbicara singkat kepada penduduk kampung dengan bahasa Melayu. Vokalnya terdengar mirip suara penyanyi bariton opera. Dia mengatakan bahwa kedatangan pasukannya untuk memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan. Dia menyebut para pejuang Republik dengan teroris, penjahat, dan pengacau. Mereka tega membunuh orang dan menebar ketakutan di kalangan penduduk.
“Apakah engkau ingin mendukung orang-orang yang melakukan teror, pembunuhan, dan menebar ketakutan?” tanya Westerling.
Tak ada jawaban dari penduduk kampung. Westerling melanjutkan pidato singkatnya, kemudian menengok ke salah satu stafnya. Sebuah kertas berisi daftar nama tersangka teroris diberikan kepada Westerling dari staf tersebut. Dia memanggil satu per satu nama yang tertera di daftar dan menginterogasinya.
Orang-orang yang dipanggil oleh Westerling membantah telah membunuh dan berbuat kejahatan. Segelintir orang mengaku hanya ikut-ikutan atau terpaksa membunuh lantaran keluarganya diancam oleh pihak tertentu.
Tapi buat Westerling interogasi itu hanya formalitas belaka. Mendapat pengakuan dari tersangkanya atau tidak, Westerling akan tetap menerapkan standrecht atau pengadilan di tempat. Vonisnya hukum mati dengan ditembak oleh regu penembak. Westerling pun turut menembak sendiri nama-nama yang dipanggil. Kejadian ini terus berlangsung berbulan-bulan. Korban tewas mencapai ribuan orang.
Selama “operasi pembersihan teroris” oleh DST di Sulawesi Selatan, mayat-mayat terserak di jalanan kampung. Mayat-mayat itu tak hanya berasal dari korban operasi DST, tapi juga dari kekejaman orang Indonesia sendiri.
Situasi keamanan di Sulawesi Selatan mencekam sejak Februari 1946. Tak ada bulan-bulan yang berlalu tanpa kerusuhan dan kekacauan. Orang-orang saling mencurigai dan melukai. “Apakah dia pro-Belanda, atau dia pro-Republik,” kata Anhar. Yang ketahuan menolong gerakan pro-Belanda akan sengsara, begitu pula dengan orang-orang yang berhubungan dengan pejuang Republik. Kepala bisa putus kapan saja dan perut akan robek pada waktunya.
Kekacauan dan kerusuhan ini membuka pintu bagi kehadiran tentara Belanda di Sulawesi Selatan. Anhar menyebutnya sebagai pemaksaan perang kolonialis Belanda terhadap Indonesia. “Belanda tak ingin kehilangan jajahannya yang demikian luas dan kaya dengan sumber alamnya itu,” kata Anhar. Maka Belanda sebisa mungkin mencari celah untuk masuk kembali ke wilayah Republik.
Maarten mengatakan pulau Jawa dan bagian Barat Indonesia telah berada di tangan kaum Republik setelah Proklamasi Kemerdekaan. “Tidak akan pernah dipegang Belanda sebagai tanah jajahan lagi,” ungkap Maarten. Kesempatan Belanda untuk merebut kembali wilayahnya hanya terletak di wilayah Indonesia Timur. Salah satunya adalah Sulawesi Selatan.
Anhar dan Maarten bersepakat bahwa perang di Sulawesi Selatan selama 1946—1947 telah merugikan kedua belah pihak. “Perang dengan alasan sesuci apapun telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban dan penderitaan yang tak berkesudahan di kedua belah pihak,” kata Anhar.
Maarten pun menyatakan Belanda tidak memperoleh apa-apa dari perang di Sulawesi Selatan, kecuali jenazah pasukannya. Secara pribadi, sebagai keluarga mantan anggota DST, dia bilang cukup sulit menerima kenyataan bahwa ayahnya ikut terlibat dalam operasi pembersihan itu.
“Mustahil ayah saya terlibat dalam eksekusi-eksekusi semacam itu. Ayah yang saya kenal bukan seperti itu dan saya juga tidak bisa membayangkan bahwa dia seperti itu,” kata Maarten. Tapi catatan tertulis dan kesaksian rekan ayahnya sulit dibantah. Dia harus mengaku dan membuka kisah ini kepada publik.
“Saya berharap dengan penulisan Peristiwa Sulawesi Selatan melalui buku saya, ada pemahaman yang lebih jelas antara orang Indonesia dan Belanda tentang periode-periode berdarah itu,” kata Maarten.
Anhar pun menyatakan pendapat serupa. Dia mengakhiri diskusi ini dengan harapan akan ada lagi penelitian lebih jauh mengenai Peristiwa Sulawesi Selatan agar ada pemahaman lebih jelas dari dua bangsa.