Oleh : Fuad Bawazier (Mantan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak)
Sebenarnya, jika setiap bank melaksanakan Standar Operasional Prosedur (SOP)nya dengan benar, tentu tidak akan terjadi kasus seperti pembobolan bank oleh lembaga pembiayaan kredit PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) ini. Karena, dalam SOP tersebut juga diatur langkah-langkah mitigasi agar bank-bank tidak mengalami fraud.
Jika SOP-nya dijalankan, maka tidak akan mudah kok untuk membobol perbankan itu.
Apalagi ada OJK yang selalu melakukan pengawasan. Pengawasan OJK itu kan rutin dilakukan. Jadi ketika terjadi pembobolan seperti ini, maka akan cepat terkuak dan tertangkap. Saat terjadi kejahatan perbankan, seperti pembobolan atas bank yang terjadi, OJK bisa sesegera mungkin melakukan pencegahan maupun melakukan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Biasanya hal ini dilakukan pertemuan (exit meeting) antara bank terkait dengan OJK.
Nah, pertanyaan saya, kalau terjadi pembobolan begini dengan nilai yang cukup besar seperti yang terjadi saat ini, jangan-jangan SOP-nya tidak dijalankan dengan benar. Itu berarti manajemen dari bank-bank tersebut juga ikut bertanggung-jawab.
Pemberian kredit-kredit seperti yang dilakukan oleh SNP kepada 14 bank tersebut, dapat diduga bahwa terdapat kick back di sana. Dalam kasus ini, sebenarnya kan jaminannya tidak seusai (jauh lebih kecil) dari dana yang diajukan kepada bank kemudian dikeluarkan oleh bank-bank tersebut. NSP hanya melalukan manipulasi data nasabah yang merupakan pelanggan dari Columbia.
Semakin besar potensi kick back-nya, semakin orang (oknum dari pihak bank) terangsang untuk memberikan kredit tersebut. Sangat tidak mungkin pihak manajemen itu ‘bersih’ atas apa yang terjadi. dalam kasus-kasus seperti ini, kalau mau dirata-rata, kick back yang diterima bisa 5-10 persen. Jika nanti pihak Kepolisian dengan bantuan PPATK dan OJK masuk menyelidiki, hal-hal seperti ini pasti akan terungkap.
Kenapa pembobolan bank itu sering terjadi dan digunakan untuk dana politik? Karena kejahatan perbankan seperti ini susah dibuktikan. Meskipun secara ‘bisik-bisik’ sudah menjadi rahasia umum. Semakin ‘kacau’ permasalahan yang terjadi dalam sebuah kasus kejahatan perbankan, maka semakin bisa dicium ‘bau busuk’nya bahwa duit itu akan hilang, tak ketemu rimbanya –seperti halnya BLBI dan Bank Century, dan kasusnya pun akan menguap begitu saja.
Jadi, permasalahan seperti ini harus segera diusut dengan tuntas. Apalagi memasuki tahun politik seperti saat ini. Pengusutan harus dilakukan dengan serius. Karena jika tidak, maka masyarakat juga patut curiga; banyak orang-orang politik dibelakang kasus pembobolan bank ini, dalam rangka mencari dana politik.
Kenapa masyarakat curiga? Karena, dari pengalaman yang pernah terjadi di negeri ini, dari kasus serupa yang pernah terjadi, seperti BLBI maupun Century, hal itu terjadi. Cara paling mudah untuk mendapatkan uang cash adalah melalui (pembobolan) bank. Melalui mekanisme-mekanisme yang manipulatif dan konspiratif. Nah, apakah dalam kasus pembobolan 14 bank ini juga untuk tujuan yang sama? Tentu saja harus dilakukan penelitian dan pengusutan lebih lanjut, baik oleh OJK, PPATK, maupun pihak Kepolisian.
Kasus-kasus pembolan bank seperti ini sangat berisiko dan berbahaya bagi ketahanan ekonomi negara. Karena, pembobolan bank seperti ini rentetannya berakibat terjadinya kredit macet. Dari kredit macet, bisa terjadi kegagalan bank, yang mungkin juga nantinya akan bersifat sistemik. Jika hal ini terjadi, nanti akan bisa berbuntut terjadi krisis perbankan, lalu dilanjutkan pada terjadinya krisis moneter.
Pembobolan terhadap perbankan ini efeknya bisa meluas, karena menyangkut uang masyarakat yang berupa dana pihak ketiga (DPK). Di mana pun di dunia, ketika perbankannya bermasalah, maka akan berpotensi terjadinya krisis moneter. Sumber utama dari krisis adalah utang.