Esensinews.com – Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan hasil panen beras tahun ini lebih baik dari tahun lalu. Hal itu akan membuat pasokan beras tahun ini bakal surplus atau melampaui konsumsinya.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Sumardjo Gatot Irianto mengungkapkan selama periode Oktober 2017 – Agustus 2018, luas tanam padi meningkat 945 ribu hektar (ha) dibanding periode yang sama tahun lalu. Dengan asumsi panen terjadi pada 900 ribu ha lahan dengan rata-rata produktivitas 5,2 ton per ha, maka tambahan pasokan selama 11 bulan terakhir sekitar 4,68 juta ton.
“Artinya, kinerja tahun ini justru optimal,” ujar pria yang akrab disapa Gatot ini seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Rabu (19/9/2018).
Gatot menjelaskan padi tidak hanya bisa ditanam di lahan yang tergenang air, tetapi juga bisa di lahan basah. Dengan demikian, penanaman padi bisa langsung dilakukan usai masa panen, di saat lahan sawah masih basah.
Makanya kita mengenal padi gogo. Kalau dulu padi gogo ditanam di lahan kering saja sekarang padi gogo ditanam di lahan sawah yang masih basah,” ujarnya.
Selain itu, penanaman padi juga bisa dilakukan di lahan rawa yang mengering saat musim kemarau sehingga hasil panen tahun ini akan lebih baik dibandingkan tahun lalu.
“Jadi, menurut hemat kami, posisi (produksi beras) sangat aman. Ini kami mutar terus, bukan katanya-katanya,” tegasnya.
Secara terpisah, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan Agung Hendriadi menambahkan saat ini pasokan beras di pasaran sangat mencukupi. Indikatornya bisa terlihat dari tiga hal.
Pertama, pasokan beras di Badan Urusan Logistik (Bulog) saat ini mencapai 2,6 juta ton atau jauh melesat dari periode yang sama tahun lalu yang hanya di kisaran 200 ribu ton.
“Semua gudang di Bulog penuh. Kalau gudang di Bulog penuh artinya apa? Produksi melimpah,” ujar Agung.
Kedua, berdasarkan pantauan beras yang masuk ke DKI Jakarta di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) pekan ini, stok beras di PIBC mencapai 47 ribu ton atau hampir dua kali lipat kondisi normal yang berkisar 20 ribu hingga 25 ribu ton.
“Kalau barang sampai menumpuk di PIBC berarti barang masuk lebih banyak dari pada yang dibutuhkan masyarakat,” jelasnya.
Ketiga, proyeksi hasil panen gadu untuk tiga bulan ke depan juga di atas konsumsi masyarakat. Proyeksi hasil panen tersebut diambil berdasarkan luas tanam.
Agung merinci, pada September ini hasil panen di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 3,8 juta ton beras, Oktober 3,2 juta ton beras, November 2,95 juta ton. Sementara, rata-rata kebutuhan konsumsi beras maksimal 2,5 juta ton.
“Kalau produksi itu masih tinggi dari kebutuhan, kira-kira cadangan Bulog dipakai nggak stoknya? Nggak mungkin dipakai kan?” ujarnya.
Selain itu, BKP setiap minggu juga memantau cadangan di penggilingan beras di seluruh Indonesia. Berdasarkan pantauan terakhir, cadangan beras di penggilingan mencapai 1,43 juta ton. Jumlah penggilangan beras di Indonesia mencapai 192 ribu di mana 90 persennya merupakan penggilingan padi berskala kecil.
Terkait harga beras di Indonesia yang lebih mahal dari Thailand dan Vietnam, Agung mengingatkan bahwa faktor pembentuk harga tidak hanya dari sisi produksi tetapi juga distribusi.
“Apakah (beras) dari produsen langsung ke pasar? Apa mampir-mampir dulu?” ujarnya.
Menurut Agung, Indonesia merupakan negara kepulauan di mana proses distribusi dan logistik biasanya tidak selancar negara non kepulauan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata harga beras di tingkat perdagangan besar/grosir sepanjang Agustus 2018 mencapai Rp11.899 per kilogram (kg) atau naik 4,3 persen dibandingkan Agustus 2017, Rp11.411 per kg.
Sebagai pembanding, berdasarkan data Bank Dunia, rata-rata harga komoditas beras Thailand pada bulan lalu hanya US$405 per ton atau sekitar Rp5.896,74 per kilogram (kg), dengan asumsi kurs tengah rata-rata Agustus Rp14.599,86. Rata-rata harga beras kualitas yang sama dari Vietnam US$401,6 per ton atau berkisar Rp5.847,24 per kg.