Esensinews.com – Ditempat terpisah, Deputi Kelembagaan Kemenkop & UKM, Untung Tri Basuki, saat dimintai tanggapannya mengenai pengelolaan sampah lewat PKBS, menyambut baik hal itu.
Untung mengatakan, dirinya sudah sangat memahami apa yang menjadi inti pokok maksud dan tujuan PKBS, pihaknya siap memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk membuka PKBS dan memberikan fasilitas-fasilitas subsidi yang diperlukan untuk itu, ujar Untung di ruang kerjanya, Senin, (3/9/2018), kepada media ini.
Kementerian Koperasi & Usaha Kecil dan Menengah didorong untuk segera mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Menteri terkait dengan pengelolaan persampahan di Indonesia, untuk menjalankan regulasi persampahan dari sisi bisnis.
“Pengelolaan sampah di Indonesia akan terlaksana dengan baik dan benar, bila semua stakeholder yang disebut dalam regulasi persampahan, baik itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mempunyai pemikiran dan tekad yang sama”. ujarnya.
Hal itu dikatakan oleh Asrul Hoesein, Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation, saat berdiskusi di sekretariat Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan (RAYA) Indonesia, Senin malam, (3/9/2018), di Ciracas, Jakarta Timur.
Menurutnya, sampah harus digotong bersama oleh semua stakeholder, dasar sinergitas ini telah diterbitkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo tanggal 23 Oktober 2017.
Kemudian, lanjut Asrul, Perpres itu turunan dari UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) dan PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
“Paling penting dan pertama yang harus dilakukan adalah terjadinya sinergitas yang positif antara Kementerian LHK dan Kementerian Koperasi & UKM, serta kementerian terkait lainnya yang mengurus persampahan, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat”, ungkapnya.
Hal yang paling labil dan lemah dalam pengelolaan sampah di masyarakat saat ini, adalah tidak adanya kelembagaan yang kuat ditingkat masyarakat termasuk komunitas “Bank Sampah” dalam mengelola sampah.
Sehingga umumnya bank sampah mati suri atau jalan ditempat saja, karena eksistensi dari pada Bank Sampah, berada disimpang jalan yang tidak pasti, antara urusan sosial (non profit) dan atau urusan bisnis (profit oriented), akhirnya pengelola bank sampah akan menjadi bulan-bulanan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, jelas Asrul.
“Bank Sampah dalam menjalankan misinya sebagai sosial engineering harus berbentuk yayasan untuk menjalankan fungsi dan perannya, kemudian Bank Sampah harus berdiri massif minimal di setiap desa atau kelurahan, agar aplikasi gerakan Bank Sampah dalam sosialisasi merubah paradigma kelola sampah di masyarakat dapat terwujud dengan baik”, terangnya.
Sedangkan, dalam sisi bisnis pengelolaan sampah oleh Bank Sampah, karena menghasilkan produk kreatif bernilai ekonomis, maka anggota Bank Sampah harus pula mempunyai “Rumah Bersama”oleh sebuah badan hukum usaha yang disebut Primer Koperasi Bank Sampah (PKBS), bukan bank sampah yang dijadikan koperasi, sebagaimana yang terjadi saat ini, itu keliru besar, ungkap Asrul.
Mencapai maksud dan demi eksisnya bank sampah sebagai corong terdepan pemerintah dan pemda dalam menangani sampah sesuai regulasi persampahan, pemerintah pusat harus serius mendorong terlaksananya kegiatan Bank Sampah ini secara benar dan berkelanjutan.
Wujud dari keseriusan pemerintah dan pemda, haruslah didukung regulasi turunan undang-undang persampahan yang telah ada berupa perpres atau kepmen, kata Asrul.
“Sejak terbitnya UUPS dan Program Bank Sampah pada tahun 2008 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dahulu Kemeneg LH), sampai saat ini, para pengelola Bank Sampah atau pengelolaan sampah secara nasional belum menunjukkan perkembangan dan solusi yang benar dan berkelanjutan”, tegasnya.
Mengingat target Indonesia Bebas Sampah kurang 3 tahun lagi serta masa pemberlakuan kebijakan Extanded Produsen Responsibility (EPR) atau kewajiban perusahaan produk berkemasan untuk menarik kembali kemasannya pada tahun 2022. Maka paling penting dan sangat perlu dilakukan saat ini adalah sebuah perubahan yang absolut dalam menangani sampah secara nasional, berupa penguatan kelembagaan usaha bagi pengelola sampah itu sendiri. Artinya, pemerintah harus mempersiapkam infrastruktur kelembagaan bank sampah dengan benar untuk menyambut EPR tersebut.
Begitu pula dengan Ketua Advokasi RAYA Indonesia, Rinaldo Saragih, saat diskusi tentang persampahan itu mengatakan, bahwa Kementerian Koperasi dan UKM, melalui Deputi Restrukturisasi Usaha melakukan FGD Koperasi Bank Sampah di Bogor pada bulan April 2018 yang lalu, maka langkah strategis selanjutnya adalah menerbitkan Keputusan Menteri Koperasi dan UKM untuk mendorong massif berdirinya PKBS disetiap kabupaten dan kota. Serta selanjutnya dibentuk sekunder atau induk primer koperasi bank sampah pada tingkat provinsi atau nasional.
Permen Koperasi dan UKM itu untuk membackup kegiatan bisnis pada Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Permen LH No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce , Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah, Permen PU No. 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, jelasnya.
Intinya, harus ada satu koperasi (PKBS) disetiap kabupaten dan kota untuk menjadi “Rumah Bersama” para pengelola bank sampah atau masyarakat yang bergerak dalam bisnis berbasis sampah ini, PKBS merupakan katalisator dan dinamisator kegiatan ekonomi para pengelola sampah, ungkapnya.
“Bank Sampah dalam menjalankan misinya sebagai sosial engineering haruslah partisipatif kemasyarakatan yang memiliki induk koperasi yang dapat membantu menjalankan fungsi bisnis pengelolaan sampah yang menerapkan fungsi kebersamaan, gotong royong, transparansi dan akuntabel yang profesional”, ujarnya
Editor : Rifaldo