Esensinews.com – Salah satu strategi kebijakan yang dijalankan Tim ekonomi Gus Dur sehingga sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi dari negatif (-) 3% ke positif (+) 4,9%.
Sambil mengurangi utang pemerintah, dan mencapai indeks Gini Ratio terendah (0,31) sepanjang sejarah Indonesia adalah melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta.
Antara lain Bulog, PT DI, PT PLN, pada UKM & Usaha Tani, PT Telkom & PT Indosat, Bank BII, serta pada Sektor Properti.
Terhadap Bulog diubah oleh tim ekonomi menjadi lembaga yang transparan, profesional, dan akuntabel.
Langkah pertama adalah melakukan mutasi besar-besaran yang mencakup 5 pejabat eselon satu (Deputi) dan 54 pejabat eselon dua (Kepala Biro dan Kepala Dolog).
Dari 26 Kepala Dolog, 24 di antaranya dipensiunkan atau dimutasi. Total sekitar 80 karyawan di bawahnya dipensiunkan secara dini. Langkah berikutnya adalah memangkas rekening Bulog dari 117 rekening menjadi hanya 9 rekening.
Sistem pembukuan di Bulog yang tidak jelas standarnya diubah menjadi General Accepted Accounting Principles, sehingga dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan.
Ketika selesai dibenahi, Bulog surplus Rp 5 triliun (yang akhirnya malah dibelikan pesawat Sukhoi pada era setelah Gus Dur).
Bulog di era Gus Dur juga meningkatkan pembelian gabah, bukan beras, dari para petani. Hal ini untuk memotong kecurangan para tengkulak yang sebelumnya selalu membeli gabah petani, mengoplosnya dengan beras impor, baru menjualnya ke Bulog.
Langkah ini efektif karena gabah lebih tahan lama disimpan di gudang-gudang Bulog ketimbang beras. Langkah ini juga menguntungkan para petani, karena selama musim panen ketika harga gabah turun, Bulog terjun untuk menyerap dengan patokan harga dasar yang optimal.
Sedangkan ketika masa paceklik gabah stok Bulog dilepas dan digiling di desa-desa untuk mencegah kenaikan harga beras.
Pada periode ini juga Bulog dilarang impor beras, hanya swasta yang boleh impor beras dengan dikenakan sedikit tarif (tanpa sistem kuota). Akibat dari kebijakan ini, selama masa pemerintahan Gus Dur harga beras menjadi sangat rendah dan stabil.
Salah satu strategi kebijakan yang dijalankan Tim ekonomi Gus Dur sehingga sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi dari negatif (-) 3% ke positif (+) 4,9%.
Dengan sambil mengurangi utang pemerintah, dan mencapai indeks Gini Ratio terendah (0,31) sepanjang sejarah Indonesia adalah melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta.
Antara lain Bulog, PT DI, PT PLN, pada UKM & Usaha Tani, PT Telkom & PT Indosat, Bank BII, serta pada Sektor Properti.
Dalam hal PT Dirgantara Indonesia (PT DI), awalnya sewaktu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tahun 1998, korporasi ini masih merugi Rp 75 miliar dan hanya mencatatkan penjualan sebesar Rp 508 miliar.
Setelah masuk era Gus Dur, IPTN diubah namanya menjadi PT Dirgantara Indonesiaseiring juga diubahnya paradigma dari industri yang bersifat biaya tinggi menjadi industri penerbangan yang kompetitif.
PT DI tidak lagi hanya memproduksi pesawat terbang atau helikopter, tetapi juga memproduksi suku cadang dan komponen untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka di dunia (seperti: Boeing, Airbus, British Aerospace, dll).
Akibat dari kebijakan ini pada tahun 2001, PT DI berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp 1,4 triliun (nyaris 3 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1998) dan keuntungan sebesar Rp 11 miliar.
Sayang sekali, setelah era Gus Dur kondisi PT DI kembali memburuk karena kesalahan strategi pemerintahan Megawati sehingga akibatnya harus memecat 6.600 karyawannya.
TerhadapBUMN PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Tim ekonomi Gus Dur sukses menyelamatkannya dari kebangkrutan. Diantaranya dengan melakukan renegosiasi harga beli listrik dari swasta yang ketinggian.
Dari USD cents 7-9/kWh ke harga normalnya sekitar USD cents 3,5/kWh, sehingga beban utang pemerintah dan PLN turun dari USD 80 miliar ke USD 35 miliar.
Kemudian revaluasi aset sehingga aset PLN meningkat 4 kali lipat dari Rp 52 triliun ke Rp 202 triliun dan modal PLN yang awalnya minus (-) Rp 9,1 triliun bertambah menjadi Rp 119,4 triliun.
Sementara sektor properti adalah entitas bisnis yang terkait dengan lebih dari 100 jenis industri (seperti: semen, genteng, besi baja, keramik, furnitur, kayu, cat, alat kelistrikan, dsb) dan menyerap sangat banyak tenaga kerja.
Karena itu demi membangkitkan kembali sektor properti yang terpuruk pasca krisis, pada April 2001 tim ekonomi Gus Durmeluncurkan kebijakan restrukturisasi utang bagi para pengembang properti.
Kemudahan ini lebih diutamakan kepada para pengembang Rumah Sangat Sederhana (RSH).
Akibat kebijakan ini nilai kapitalisasi bisnis sektor properti naik dari Rp 9,88 triliun (2001) menjadi Rp 12,99 triliun (2002) dan Rp 26,95 triliun (2003). Akhirnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di era pasca Gus Dur.
Mengenai sektor usaha kecil Menengah (UKM) dan usaha tani, pada era Gus Durjumlah UKM yang terbelit kredit macet di perbankan mencapai 14 ribu unit usaha.
Tim ekonomi pada tahun 2000 meluncurkan kebijakan memotong utang pokok UKM dan bunganya sebesar 50% asalkan dibayar dengan tunai.. Kebijakan restrukturisasi utang UKM ini berkontribusi menambah keuntungan Bank Mandiri sebesar Rp 1 triliun pada tahun 2001. Restrukturisasi utang juga diperoleh pelaku usaha tani di era Gus Dur.
Bila luas lahan yang dimiliki petani
kurang dari 0,5 Ha, petani mendapatkan potongan utang pokok sebesar 50%. Bila luas lahan 0,5-1 Ha, potongan utang pokok sebesar 35%. Bila luasa lahan lebih besar dari 1Ha, potongan utang pokok sebesar 25%.
Sementara tentang PT Telkom dan PT Indosat, pada era Gus Dur terjadi pemisahan manajemen silang (cross management) dan kepemilikan silang (cross ownership) di tubuh PT Indosat dan PT Telkom.
Tim ekonomi Gus Dur ingin agar antara kedua perusahaan ini berkompetisi secara fair, meninggalkan kerjasama terselubung yang selama ini dipraktekan keduanya.
Kebijakan ini menyebabkan negara mendapatkan Rp 5 triliun tanpa menjual selembar saham.
Adapun tentang krisis Bank Internasional Indonesia (BII), awal Juli 2001 terjadi rush di Bank Internasional Indonesia (BII) yang awalnya hanya puluhan miliar rupiah kemudian mencapai Rp 500 miliar.
Kondisi ini membahayakan sistem perbankan nasional. Saat itu IMF mengusulkan dua opsi, yaitu: 1) membail-out BII sebesar Rp 4,2 triliun; dan 2) melikuidasi BII yang memakan biaya Rp 5 triliun.
Tim ekonomi Gus Dur tidak menuruti nasehat IMF (karena IMF memiliki rekam jejak menjerumuskan Indonesia pada krisis ekonomi yang parah tahun 1997), namun memililih opsi sendiri.
Tim ekonomi segera menggelar konferensi pers mengumumkan bahwa pemerintah melalui Bank Mandiri “seolah-olah” mengakuisisi BII sebesar 80%.
Keesokan harinya pers release ditempel di seluruh cabang BII. Mengetahui bahwa pemerintah dan bank terbesar “berencana” mengakuisisi, para nasabah BII pun merasa aman dan mulai kembali menyimpan dananya.
Kemudian tim ekonomi mengganti direksi BII dengan bankir-bankir didikan Bank Mandiri.
Setelah itu kondisi BII pun kembali normal. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, sebuah bank diselamatkan dari rush tanpa melakukan bail-out dan likuidasi.