Esensinews.com – Permasalahan lahan groundkaart belanda 1913 yang diklaim PT. KAI sebagai asetnya berkonflik dengan masyarakat yang telah menempati lebih dari 3 generasi semakin memperjelas posisi dan kedudukan sebenarnya groundkaart dalam sistem administrasi pertanahan di republik ini khususnya di Lampung.
Selanjutnya, terkait hal ini Kurnia Warman, ahli hukum agraria dan Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, nara sumber yang diundang menjadi pembicara dalam Fokus Group Diskusi Badan Akuntabilitas Publik DPD RI beberapa waktu lalu, menyebutkan; ”Pada saat konversi hak-hak barat menuju nasionalisasi di tahun 1960-an, pendaftaran tanah memerlukan data yuridis (dasar hukum penguasaan) dan data fisik (gambar situasi spt groondkaart dlsb) penguasaan tanah tersebut untuk dipindahkan ke Buku Tanah dan Sertifikat Tanah-nya sesuai kewenangan instansi pemerintah yang bersangkutan.” urainya.
“Sesuai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5/1960 diberikan batas waktu 20 tahun untuk mendaftarkan lahan-lahan yg berasal dari hak barat (eigendom, erpacht dan opstal). Dalam kajian kami, lahan-lahan yang tergolong groundkaart tidak didaftarkan ke BPN, sehingga dengan demikian groundkaart menjadi tanah negara bebas, yang jika orang-seorang mendaftarkan tanah tersebut BPN tidak bisa menolaknya.” terang Kurnia.
Berkenaan dengan pernyataan ahli hukum agraria dari Universitas Andalas ini, Anggota DPD RI, Andi Surya, menegaskan; “Pernyataan Kurnia Warman ini tentu memberi pandangan yang kuat kepada kita bahwa PT. KAI sebaiknya mengurus saja lahan-lahan kereta api yang sudah jelas termaktub dalam UU Perkeretaapian no. 23/2007 yaitu 6 meter kiri dan kanan rel KAI. Tidak usah merepotkan diri mengklaim lahan groundkaart yang tidak jelas kedudukan hukum dan administrasinya.
Perbaiki manajemen perkeretaapian, tingkatkan pelayanan kepada penumpang dan upayakan investasi lokomotif dan gerbong-gerbong yang lebih modern, ini lebih baik untuk manajemen PT. KAI,” ujar dia.