Ada Apa dengan Pangan?

ESENSINEWS.com - Sabtu/25/08/2018
Ada Apa dengan Pangan?
 - ()

Oleh: Dwi Andreas Santosa (Guru Besar IPB)

Guru Besar IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan CORE Indonesia

Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia mengawali tahun 2018 dengan gejolak harga beras. Tanda-tanda terjadinya gejolak harga beras sebenarnya sudah nampak sejak bulan Oktober 2017.

Harga beras ditingkat konsumen sebelumnya stabil di kisaran Rp 11.200 per kg untuk beras medium beberapa bulan sebelumnya hingga September 2017. Harga sedikit meningkat ke kisaran Rp 11.300 per kg selama bulan Oktober, ketika petani mulai menanam padi periode Musim Hujan (MH).

Stok beras nasional perlahan-lahan menurun karena praktis pasca Oktober panen menipis. Di bulan November harga beras medium rata-rata nasional sudah bergeser di kisaran Rp 11.400, dan kemudian melonjak cepat. Di pertengahan Januari mencapai Rp 12.000 dan akhir Januari 2018 di angka Rp 12.200 (PIHPS, Juli 2017 – Januari 2018).

Kenaikan harga yang begitu cepat serta cadangan beras pemerintah yang hampir minus di bulan Januari mencemaskan pemerintah, sehingga pemerintah memutuskan impor beras sebesar 500.000 ton yang menyulut kontroversi. Impor biasanya sudah diputuskan di bulan Juli atau paling lambat Oktober di tahun berjalan.

Harga di tingkat konsumen selaras dengan situasi panen di tingkat usaha tani yang tercermin dari hasil kajian harga gabah bulanan oleh Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI). Di bulan April dan Mei 2017 di puncak dan setelah panen raya, harga gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 3.800 dan Rp 3.894 yang bila dikonversi sederhana menjadi harga beras di tingkat petani sebesar Rp 7.600 dan Rp 7.788 dan di tingkat konsumen sebesar Rp 9.576 dan Rp 9.813. Harga tersebut masih di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET) rata-rata sebesar Rp 9.883 untuk beras medium (Permendag 57/M-DAG/PER/8/2017).

Di bulan Oktober harga gabah dalam bentuk GKP sudah mencapai Rp 4.908 per kg atau setara dengan Rp 11.288 di tingkat konsumen yang tidak jauh berbeda dengan data PIHPS. Harga ini sudah 14,2 persen diatas HET atau sudah melampaui kriteria kenaikan sebesar 10 persen untuk memutuskan impor beras. Di bulan Januari 2018 harga gabah mencapai titik tertingginya yaitu sebesar Rp 5.667 per kg GKP atau setara dengan Rp 13.034 per kg beras medium.

Harga gabah mulai tertekan bersamaan dengan dimulainya musim panen, serta mencapai titik terendah di bulan April 2018, yaitu sebesar Rp 4.319 per kg GKP, meskipun harga tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding bulan yang sama tahun 2017.

Gejolak harga komoditas lain

Selain beras, beberapa komoditas juga mengalami gejolak, salah satunya adalah bawang merah. Setelah sempat terpuruk di akhir tahun 2017 hingga Januari 2018, yang menyebabkan petani mengalami kerugian hampir 2 trilyun rupiah, harga bawang merah mulai merangkak naik. Pada bulan Maret 2018 harga bawang merah di tingkat konsumen sudah mencapai Rp 27.828 per kg dan bulan April sudah melonjak ke angka Rp 36.461. Ketika petani sedang menikmati untung untuk sedikit menutupi kerugian besar di periode sebelumnya, harga dengan cepat tertekan. Di bulan Mei harga sudah mulai turun ke angka Rp 35.000 hingga Rp 36.000 per kg dan di bulan Agustus ini kembali di kisaran Rp 27.500.

Komoditas yang gejolak harganya paling tinggi saat ini adalah daging ayam ras dan telur ayam ras. Pada bulan November 2017 harga daging ayam ras mencapai titik terendahnya yaitu Rp 29.719 per kg. Harga kemudian naik dan mencapai titik tertinggi di bulan Januari 2018 sebesar Rp 33.114 per kg.

Harga kemudian turun lagi dan mencapai titik terendah di bulan Maret 2018 sebesar Rp 31.164 per kg. Mulai April 2018 harga meroket dan mencapai Rp 37.868 di bulan Juni. Banyak analis menyampaikan bahwa harga daging ayam akan mencapai titik tertinggi karena permintaan yang meningkat tajam di bulan Ramadan. Ternyata analisis tersebut salah dan harga terus meningkat menjadi Rp 38.918 rata-rata di bulan Juli 2018 dan mencapai Rp 39.750 di akhir Juli 2018.

Gejolak yang sama persis terjadi di telur ayam, setelah mencapai titik terendah di bulan November 2017, harga telur ayam ras meningkat dan mencapai Rp 25.218 per kg di bulan Januari 2018. Harga kemudian turun lagi dan mencapai titik terendahnya di bulan Maret sebesar Rp 23.483 per kg. Mulai April harga terus meningkat tajam dan mencapai Rp 25.715 per kg di bulan Juni. Sama seperti daging ayam, setelah Idul Fitri harga justru terus meningkat dan mencapai titik tertingginya di bulan Juli sebesar Rp 26.625 per kg.

Dinamika harga daging ayam dan telur ayam seperti tersebut sudah terjadi selama lebih dari 5 tahun ini, yaitu harga tertinggi di bulan Januari kemudian menurun dan mencapai titik terendahnya di bulan Maret, kemudian naik lagi, dan mencapai puncak di bulan Juli. Pola tersebut terjadi karena siklus alamiah proses budidaya ayam ras baik pedaging maupun petelur. Hal yang perlu dikawatirkan adalah harga daging ayam dan telur ayam di semester I-2018 tertinggi selama 10 tahun terakhir. Hal ini menjelaskan mengapa telur dan daging ayam ras menjadi penyebab inflasi terbesar di bulan Juli 2018.

Mitigasi Gejolak Pangan 2018

Tanpa intervensi apapun, dapat dipastikan harga daging dan telur ayam ras turun di bulan Agustus ini. Harga akan terus turun dan mencapai titik terendahnya di bulan Oktober 2018 dan kemudian November mulai naik lagi dan mencapai puncaknya di Januari 2019. Mengingat pola harga yang sudah rutin seperti ini, pemerintah diharapkan tidak perlu melakukan intervensi berlebihan atau menuduh “kartel/mafia” bermain ketika harga ayam dan telur ayam ras mulai bulan November nanti naik.

Harga daging ayam dan telur ayam ras rata-rata di tahun ini dipastikan tertinggi selama ini. Pakan merupakan penyumbang terbesar biaya produksi. Bila nisbah harga pokok produksi antara telur dibanding pakan di tahun 2012 masih berkisar 3,24 maka saat ini sudah mencapai 3,50. Kenaikan nilai dolar juga mengerek harga pakan ke atas, karena material impor yang menyusun 35 persen pakan berkontribusi hampir 70 persen total biaya produksi pakan (Musbar, Ketua Forum Think Tank Peternak Layer Nasional, komunikasi pribadi).

Pembatasan impor jagung yang tidak diikuti oleh kesiapan produksi dalam negeri memberi kontribusi terbesar munculnya gejolak sumber protein utama ini. Sebelum kebijakan pembatasan impor dilakukan, kontribusi jagung terhadap komposisi pakan berada di kisaran 50 persen hingga 60 persen. Saat ini kontribusi jagung tinggal 30 persen sampai 40 persen dan digantikan oleh gandum untuk pakan (wheat feed). Dengan demikian, komponen impor untuk pakan saat ini melonjak dari 25 persen sampai 35 persen menjadi 45 persen hingga 65 persen, yang berkebalikan dengan upaya penurunan impor.

Pada tahun 2016, impor gandum untuk pakan ternak mencapai titik tertingginya sebesar 3,2 juta ton, sedangkan impor jagung menurun sebesar 2,2 juta ton. Mulai tahun 2017, pemerintah “unofficially” mengendalikan impor gandum untuk pakan, sehingga saat ini terjadi peralihan sebagian gandum untuk pangan menjadi untuk pakan yang ikut mengerek harga tepung terigu nasional mulai Agustus 2017 hingga saat ini.

Disisi lainnya pemerintah juga menekan industri penggilingan jagung (feed mill) untuk membeli jagung domestik yang harganya saat ini salah satu yang tertinggi di dunia karena kebutuhan yang melampaui pasokan (Foreign Agricultural Service-USDA, Maret 2018).

Perbaikan Tata Kelola

Dengan demikian, pemerintah dituntut lebih hati-hati di dalam tata kelola jagung, sehingga tidak merugikan semua pihak. Harga pakan dalam waktu setengah tahun ini sudah meningkat 2 kali. Diperkirakan harga akan naik lagi di bulan Agustus, hal ini sangat memberatkan peternak kecil dan konsumen daging serta telur ayam ras. Harga yang tinggi di tahun 2018 dipastikan akan menekan asupan protein.

Komoditas lain yang perlu di waspadai adalah beras. Ditengah klaim kecukupan produksi padi dan stok beras, komoditas ini masih memiliki potensi kerawanan. Pada Musim Panen I bulan Februari hingga April 2018 yang lalu, panen padi sangat bagus, bahkan banyak petani jaringan AB2TI melaporkan produksi yang hampir dua kali lipat dibanding Musim Panen I tahun 2017. Tetapi panen yang sangat bagus tersebut tidak banyak membantu untuk menurunkan harga dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.

Harga gabah di tingkat petani meningkat 13,6 persen dari April 2017 ke April 2018 dan 16,5 persen dari Mei 2017 ke Mei 2018. Setelah sempat tertekan di bulan Juni harga gabah rata di bulan Juli 2018 mencapai Rp 4.479 per kg GKP (Survei Harga GKP, GKG dan beras di 46 Kabupaten produsen padi, AB2TI 2017-2018). Harga GKP tersebut setara dengan harga beras sebesar Rp 11.287 dan sudah jauh melampaui HET untuk beras medium. Pergerakan harga gabah di tingkat usaha tani ini bisa menjadi “peringatan” bagi pemerintah berkaitan dengan situasi beras di tahun 2018 ini.

Panen yang bagus di Musim Panen I belum mampu menyamakan atau menurunkan harga GKP dibanding tahun sebelumnya. Penyebabnya dipastikan karena stok awal tahun 2018 yang sangat tipis. Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di BULOG bahkan sempat minus di bulan Februari 2018. Hal ini menyebabkan panen pertama terkuras untuk mengisi stok di penggilingan dan pedagang.

Laporan terkait kekeringan yang sedang melanda berbagai daerah saat ini tidak bisa dipandang “sebelah mata”. Sebagian besar area sawah di wilayah produksi di Pulau Jawa saat ini sudah memasuki katagori waspada yaitu belum termasuk area yang kekeringan tetapi berpotensi kekeringan dalam beberapa minggu atau bulan ke depan. Pemerintah perlu berkonsentrasi penuh ke area-area tersebut untuk mencegah potensi penurunan produksi. Peran pendataan disini menjadi sangat penting. Perlu dihindari laporan-laporan tipe menyenangkan atasan, dan sebaiknya BPS yang melakukan pendataan, bukan Kementerian Pertanian.

Harga gabah diperkirakan akan terus naik dan mencapai puncaknya di bulan Januari 2019. Hingga bulan Oktober, pemerintah diharapkan tidak perlu panik dan melakukan intervensi berlebihan terhadap harga beras. Biarlah petani mendapat sedikit peningkatan keuntungan di tengah ancaman penurunan produksi. Setelah Oktober pemerintah perlu melakukan pengendalian harga beras, karena pada saat itu petani sebagian besar sudah menjadi konsumen beras. Komoditas-komoditas lainnya diperkirakan aman kecuali untuk cabe di akhir tahun.

Semoga dengan tata kelola dan kebijakan pangan yang lebih baik kita bisa melewati tahun ini dengan aman dan mampu menekan potensi gejolak di tahun politik yang akan datang. Paradigma tata kelola pangan juga perlu diubah menjadi tata kelola pangan yang mengedepankan kesejahteraan petani, tata kelola yang memuliakan petani, dan bukan tata kelola pangan yang sekedar menekan inflasi.

Tinggalkan Komentar

Kolom

Mungkin Anda melewatkan ini

Lopa Tokoh Fenomenal yang Tak Terlupakan

Lopa Tokoh Fenomenal yang Tak Terlupakan

Selamat Pagi Bu Doktor

Selamat Pagi Bu Doktor

Buka Program S1, Universitas Pertahanan Bebaskan Biaya Kuliah

Buka Program S1, Universitas Pertahanan Bebaskan Biaya Kuliah

Peneliti Nilai Ada Ruang bagi LGBT di Indonesia

Peneliti Nilai Ada Ruang bagi LGBT di Indonesia

Rizal Ramli dan Refly Harun Ajukan Judicial Review Ambang Batas PT di MK

Rizal Ramli dan Refly Harun Ajukan Judicial Review Ambang Batas PT di MK

Tag

Baca Informasi Berita Aktual Dari Sumber terpercaya