Tuan Presiden Joko Widodo yang terhormat, di tengah kesibukan Tuan Presiden sehari-hari, ijinkan saya – dosen di Kupang, tetapi lahir dan besar di Flores Barat, NTT – menemui Tuan Presiden lewat surat terbuka ini. Tujuan saya adalah untuk memohon kepada Tuan Presiden, sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara Indonesia, kiranya Tuan Presiden berkenan menghentikan secara segera rencana investor mendirikan hotel berbintang lima langsung di Pulau Komodo, bagian dari Taman Nasional Komodo (TNK), Manggarai Barat, Flores, NTT.
Sebelum saya mengemukakan alasan saya mengajukan permohonan tersebut, Tuan Presiden, saya ingin berceritera sedikit tentang TNK yang, menurut Tuan Presiden Suharto pada tahun 1980-an, perlu dikosongkan dari penduduk lokal. Pada waktu itu, Tuan Presiden Suharto menginginkan perlakuan sama terhadap semua taman nasional, yaitu tanpa penduduk lokal yang berdomisili di dalamnya. Cerita ini, menurut saya, Tuan Presiden, perlu didengar lagi untuk mengingatkan bangsa ini bahwa ketika jaman dahulu saja penduduk lokal diminta untuk meninggalkan TNK, mengapa kini malah bangsa ini mau membawa orang “luar” untuk menetap di TNK atas nama investasi.
Ceriteranya berasal dari Tuan Vitalis Tanggal, seorang dosen dan peneliti Undana, pada tahun 1980-an. Beliau berceritera bahwa ketika ada ide dari Tuan Presiden Suharto untuk memindahkan penduduk lokal dari TNK, ada yang mengusulkan supaya diadakan penelitian terlebih dahulu.
Usulan itu diterima dan para peneliti Universitas Nusa Cendana (Undana), termasuk Tuan Vitalis Tanggal, ditugaskan untuk melakukan penelitian yang dimaksud. Dengan demikian, pergilah para peneliti itu ke TNK pada dekade 1980-an itu. Apa hasil penelitian mereka?
Tuan Presiden, mereka menemukan sebuah folklor berikut: dahulu kala ada seorang ibu di Pulau Komodo yang melahirkan dua anak. Pertama, seorang manusia; kedua, seekor buaya darat alias komodo. Karena satunya manusia dan yang lainnya binatang, tempat tinggal merekapun berbeda: satu di rumah, yang lainnya di hutan. Walaupun demikian, keduanya tetap bersaudara dan sebagai bukti persaudaraan itu, orangtua manusia dan buaya darat itu selalu memberikan sebagian dari hewan yang dipotongnya, terutama isi perutnya, kepada komodo. Itu, Tuan Presiden, menjadi tradisi hingga hari ini.
Pemberian itu, para peneliti menyimpulkan, yang memungkinkan komodo sebagai binatang purba bertahan hingga jaman ini. Binatang purba lainnya yang tidak mendapatkan perlakukan istimewa dari manusia, seperti yang kita ketahui Tuan Presiden, sudah lama punah. Dalam tautan dengan itu, para peneliti Undana itu berpendapat, jika penduduk lokal Pulau Komodo dipindahkan, komodo akan punah karena tidak ada lagi orang yang memberikan mereka “makanan.”
Tuan Presiden, Tuan Presiden Suharto saat itu percaya pada hasil penelitian tim Undana itu. Karena itu, penduduk lokal Pulau Komodopun tidak dipindahkan hingga saat ini.
Tuan Presiden yang terhormat, ada beberapa hal-hal yang bisa dipetik dari cerita rakyat Pulau Komodo itu. Itu, saya pikir, menjadi alasan mengapa saya memohon Tuan Presiden untuk kiranya berkenan memerintahkan untuk menghentikan secara segera semua (rencana) aktivitas pembanguan hotel berbintang lima di TNK, Manggarai Barat, NTT, itu. Pertama, hanya penduduk lokal TNK yang memiliki hubungan “darah” dengan komodo. Dengan demikian, hanya mereka, Tuan Presiden, yang menentukan mati-hidupnya komodo. Artinya, jika ada orang lain yang bukan “sedarah” dengan komodo yang menetap di sana dalam diri karyawaan hotel, pemilik hotel, dan tamu mereka, orang-orang itu menjadi ancaman bagi komodo karena mereka masuk dan hidup di wilayah komodo walaupun mereka yang “asing” itu punya maksud baik seperti “pemeliharaan” komodo secara lebih moderen dan penyediaan sarana dan prasarana wisata yang lebih canggih dan lebih mudah terjangkau.
Tuan Presiden, secara ilmiah mungkin ini susah diterima. Namun, Tuan Presiden, ilmu pengetahuan sering tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan atas persoalan kemanusiaan, bukan? Misalnya, ilmu pengetahuan hingga kini belum bisa menjawab apakah telur atau ayam yang ada lebih dahulu di muka bumi ini. Selain itu, jika orang Amerika jaman dahulu percaya 100% pada ilmu pengetahuan bahwa besi yang beratnya berton-ton tidak mungkin bisa terbang, manusia, Tuan Presiden, tidak akan pernah bisa terbang dengan pesawat.
Maksud saya, Tuan Presiden, persoalan investasi di TNK, Mabar, NTT, itu bukan hanya soal ilmu ekonomi pembangunan pariwisata semata-mata, tetapi juga soal adat isitiadat, kebiasaan, dan keberadaan secara keseluruhan masyarakat setempat (baca: penduduk lokal TNK dan lingkungannya) yang mungkin akan terusik, secara sadar atau tidak, jika “kemajuan “ dari luar dipaksakan seperti dalam kasus (rencana) investasi hotel berbintang lima di TNK itu. Keterusikan itu, tentu, akan membuat stres bukan hanya penduduk lokal TNK, tetapi juga komodo. Ini, pada gilirannya, Tuan Presiden, cepat atau lambat, berdampak negatif bagi komodo dan penduduk asli TNK sekaligus.
Kedua, Tuan Presiden, yang dibutuhkan TNK sekarang, saya pikir, bukan hotel berbintang lima di TNK, tetapi sarana dan prasarana sederhana seperti rumah istrahat kecil-kecilan tempat wisatawan beristrahat dengan kamar mandi yang airnya melimpah setiap saat. Juga pemandu wisata yang kompeten bukan hanya untuk bercerita tentang komodo, tetapi juga menjaga keamanan para wisatawan (baca: jangan sampai jadi mangsa komodo atau pemandu wisata nakal). Juga rusa dan kerbau serta babi sebagai makanan komodo bisa diperbanyak dengan campur tangan putra/i Indonesia via budidaya peternakan sehingga komodo itu tidak akan pernah kekurangan makanan – hanya makan “isi perut” hewan berian “saudaranya” di TNK.
Selain itu, penghijauan TNK harus juga dilakukan secara intensif agar dia menjadi lebih ramah bagi komodo dan penduduk lokal TNK serta siapapun yang berkunjung ke sana. Di atas, segalanya, Tuan Presiden, bantulah setiap penduduk lokal TNK sedemikian rupa sehingga mereka lebih sejahtera: sandang, pangan, dan papan cukup. Jika mereka makmur, Tuan Presiden, mereka, tentu, tidak akan ragu-ragu untuk memberikan komodo, “saudaranya,” bukan hanya isi perut hewan yang mereka potong, seperti dalam cerita di atas, tetapi juga hewan secara utuh. Itu, hanya mungkin, Tuan Presiden, kalau penduduk TNK itu makmur. Artinya, Tuan Presiden, saudara-saudara kita di TNK itu butuh kemakmuran melalui usaha mereka sendiri dengan bantuan
Tuan Presiden, tetapi yang jelas, saya kira, bukan melalui pembukaan hotel berbintang lima, Tuan Presiden. Hotel itu, menurut saya, malah akan membuat mereka terpinggirkan: mereka dan komodo, “saudaranya”.
Ini, Tuan Presiden, benar karena orang berwisata ke TNK, saya pikir, bukan untuk menginap di hotel berbintang, tetapi untuk melihat komodo di habitat aslinya, termasuk penduduk lokal di TNK dalam segala keunikannya. Saya takut, Tuan Presiden, jika TNK kehilangan keunikannya, wisatawan mungkin tidak akan pernah ke TNK lagi.
Karena itu, Tuan Presiden, doronglah investor untuk berinvestasi di sekitar TNK: Labuan Bajo dan sekitarnya, Boleng, Mbeliling, Sano Nggoang, dan Lembor yang tidak hanya masih luas tetapi juga indah, termasuk penduduknya yang selalu terbuka terhadap orang dan budaya lain, persis seperti wong Solo, Tuan Presiden.
Kemudian, Pemda Mabar dengan bantuan Pemda NTT dan Pemerintah Pusat membangun Mabar daratan secara umum, Kota Labuan Bajo secara khusus, sedemikian rupa sehingga tempat itu jadi tempat yang nyaman, aman, dan menguntungkan bagi investor untuk berinvestasi, termasuk membangun hotel berbintang. Lalu, kota itu dengan TNK dihubungkan dengan sarana dan prasarana transportasi berkelas sehingga bepergian ke TNK atau sebaliknya merupakan sebuah keindahan, bukan sebentuk penyiksaan karena sarana dan prasarana transportasi yang jelek.
Itu, Tuan Presiden, antara lain, alasan saya mengapa saya memohon dengan sangat supaya Tuan Presiden berkenan menginstruksikan pihak terkait, apapun atau siapapun itu, dari pusat sampai daerah, untuk segera menghentikan setiap usaha pembangunan hotel berbintang di TNK. Tuan Presiden, kalau bisa, kiranya hari ini juga. Tolong, Tuan Presiden! Tolong!
Terima kasih dan sukses selalu untuk Tuan Presiden dan keluarga serta negara kita secara umum, TNK secara khusus.
Oleh : Prof Tans Feliks (Guru Besar Universitas Nusa Cendana Kupang)