Esensinews.com – Diaspora ilmuwan semakin banyak yang berkiprah di luar negeri. Namun hingga kini belum ada pemetaan potensi mereka secara jelas. Pemetaan potensi penting karena sangat berguna bagi kemajuan bangsa.
Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) Deden Rukmana mengatakan, di Amerika Serikat saat ini ada 89 ilmuwan diaspora yang bergelar PhD. Mereka mengajar dan juga bekerja di universitas maupun lembaga riset di negeri Paman Sam tersebut.
Deden mengatakan, ilmuwan diaspora pastinya juga tersebar di negara lain seperti Kanada, Jepang, Australia dan angkanya terus bertambah. Dia menganggap, mereka berpotensi bagi bangsa makanya harus dipetakan. “Saat ini kami tengah mendata potensi ilmuwan diaspora Indonesia di seluruh dunia,” katanya di Jakarta seperti dikutip sindonews.
Profesor Perencanaan dan Studi Perkotaan di Savannah State University ini menjelaskan, pemetaan ini penting sebab pihaknya mau mengajak diaspora ini untuk bersinergi dengan ilmuwan Indonesia di dalam negeri. Misinya adalah, ujar Deden, untuk memanfaatkan sebesar-besarnya potensi diaspora bagi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan sumber daya manusia Indonesia khususnya di perguruan tinggi.
Aumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengungkapkan, diaspora Indonesia yang berprofesi sebagai ilmuwan masih tergolong jauh baik dari sisi kuantitas maupun kualitas jika dibandingkan dengan ilmuwan diaspora China, India atau pun Korea. Kendati demikian, Deden mengapresiasi berbagai bentuk kolaborasi riset yang sudah dijalin para ilmuwan diaspora. “Saya melihat ada potensi besar yang dapat diperankan ilmuwan diaspora untuk kemajuan iptek dan SDM Indonesia,” terangnya.
Deden melihat, bahwa para ilmuwan ini sejatinya akan senang hati berbuat untuk kemajuan Indonesia. Asalkan mereka disediakan media untuk berkiprah. Misalnya sudah ada kerjasama penelitian dengan ilmuwan Indonesia baik di perguruan tinggi atau lembaga penelitian seperti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Deden pun menyambut baik adanya Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) yang akan diselenggarakan Kemenristekdikti. Ajang ini diharapkan menjadi jembatan kolaborasi antara ilmuwan dalam negeri dengan ilmuwan diaspora.
Kegiatan SCKD ini merupakan wadah berkontribusi dan berbagi, sekaligus berpartisipasi pada pembangunan Indonesia. Acara ini satu di antara bentuk perhatian pemerintah kepada segenap anak bangsa. “Menariknya ada open market di mana konsultan, transaksi, dan negosiasi gagasan akademis diperbincangkan,” tuturnya.
SCKD akan dihelat pada tanggal 12-18 Agustus di Jakarta. Tahun ini, dari total 90 lebih ilmuwan diaspora yang mendaftar online melalui laman diaspora.ristekdikti.go.id, Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) telah mengumumkan 51 orang ilmuwan diaspora yang diundang mengikuti SCKD. Para ilmuwan diaspora ini nantinya akan dikirim ke berbagai daerah untuk memberikan workshop, coaching, hingga membuka peluang kerja sama dengan perguruan tinggi tujuan.
Dirjen SDID Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, program SCKD dapat diibaratkan sebuah jembatan bagi ilmuwan diaspora untuk kembali mengenal dunia keilmuan di negara mereka sendiri dan ilmuwan dalam negeri untuk mengenal dunia keilmuan di luar negeri.
“Ilmuwan diaspora merupakan jembatan yang akan membawa ilmuwan dalam negeri menuju gerbang pengetahuan dunia. Keberadaan mereka juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat bertanya sekaligus berlindung oleh anak bangsa yang pergi menuntut ilmu ke negeri tempat mereka tinggal,” tuturnya.
Sementara Peneliti Kebijakan Publik Indonesian Public Instititute (IPI) Jerry Massie menyayangkan sampai kini pemerintah seakan cuek dengan para diaspora.
“Saya pernah ketemu beberapa kali dengan para pakar-pakar di Amerika Serikat waktu di Chicago, Lousiana, Seatle, Charlotte, Maryland. Pada intinya mereka hijrah ke Paman Sam lantaran pemerintah kita kurang perhatian dengan mereka, atau takut membayar sesuai keahlian mereka,” kata Jerry juga peneliti di Amerika ini.
Persoalanya kata Jerry, saat mereka kembali ke tanah air apa dan bagaimana commitment from the goverment of Indonesia and how to goverment policy? Coba kita berikan salary and facilities yang layak bagi mereka.
“Mereka live in di AS lantaran mereka diperhatikan, Indonesia sulit memperhatikan para kelompok cendikiawan, padahal mereka pencipta dan penemu punya hak paten. Ada sahabat saya Iwan Pangalila dia tinggal di Alabama, dan Iwan punya sejumlah hak paten kedirgantaraan. Beberapa hak paten wan Pangalila antara lain, Paten No. US20110309194 untuk Mounting System for Attaching a Structural Monument in a Desired Position in an Aircraft Cabin. Diajukan 23 Nov 2009 dan dipublish 22 Des 2011,” kata Jerry.
Jerry mencotohkan pada zaman mendiang Presiden Soeharto dimana para pakar-pakar disekolahkan di universitas ternama di AS yakni Berkeley University ada, JB Sumarlin, Emil Salim, Ali Wardhana, Widjijo Nitisastro dan Dorojatun atau dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley”.
Begitu pula ada ahli pesawat BJ Habibie. Harusnya kata Jerry, Presiden Jokowi harus mengadopsi hal tersebut.
Berbagai sumber