Pembangunan infrastruktur yang dijalankan oleh Presiden Jokowi tidak semata-mata bersifat fisik. Pembangunan itu memiliki konteks membangun konektivitas dan membangun peradaban. Bukan semata fisik melainkan juga menyentuh suasana batin masyarakat. Bukan bersifat terpotong-potong, melainkan berkesinambungan.
Negara benar-benar hadir sampai di pedalaman dan daerah terpencil. Masyarakat di wilayah-wilayah yang selama ini terabaikan terkoneksi secara budaya serta mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, kesehatan dan harga yang murah.
Dalam tempo hampir 4 tahun, pembangunan infrastruktur telah memberi makna yang luar biasa dalam konteks wawasan Nusantara.
Fakta di atas dipaparkan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam acara diskusi publik bertema “Menuntaskan Pembangunan untuk Seluruh Indonesia” yang digelar oleh Universitas Indonesia dan Aliansi Kebangsaan, di JCC, Jakarta, pekan kedua Juli 2018 ini.
Hadir dalam diskusi tersebut antara lain Effendi Ghazali selaku moderator, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Pejabat Rektor Universitas Indonesia Dr. Bambang Wibawarta, Direktur Kemitraan Harbrinderjit Singh Dillon, dan sejarawan terkemuka Taufik Abdulah.
Lebih lanjut dijelaskan Moeldoko, kompleksitas mengelola bangsa ini tergambar dari luas dan beragamnya negeri ini. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan kerap mengungkap fakta, bahwa Indonesia dihuni oleh lebih dari 700 etnis, dengan 17.000 pulau, dan panjang pantai 81 ribu kilometer atau dua kali keliling bumi.
Presiden Jokowi juga mengatakan saat mengunjungi Afghanistan, selalu diingatkan, oleh Presiden Afghanistan, negerinya sudah 40 tahun terjebak dalam pertikaian, meski hanya terdiri atas 6 etnis.
Oleh karena itu mantan Panglima TNI itu berharap agar bangsa ini terus memperkuat nilai-nilai kebangsaan yang dibangun atas nilai luhur, kultural, dan religius. “Untuk itu, jangan coba-coba memperdebatkan apalagi mempertentangkan antara ideologi dan agama. Antara ideologi Pancasila dan agama adalah sesuatu yang serasi,” tegasnya.
“Nilai-nilai ideologis dan nilai-nilai agama, tolong untuk tidak dipertentangkan. Justru harus saling memperkuat,” tandasnya.
Demikian juga nilai intelektual harus terus dikembangkan di kampus-kampus. Jangan sampai kampus didominasi oleh paham yang tidak sejalan dengan tradisi intelektual. “Sekarang yang terjadi, kita tidak berpretensi menuduh, justru kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler semakin menonjol. Seharusnya, intellectual knowledge yang dikembangkan,” ungkap Moeldoko.
Menyinggung soal minoritas dan mayoritas, Kepala Staf Kepresidenan berharap, bangsa ini jangan terjebak pada dikotomi tersebut. Jika hal tersebut dikembangkan bangsa Indonesia akan sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu dan sulit menggapai kemajuan.
Moeldoko lantas memberi contoh bagimana Korea Utara terus membangun dirinya, terutama kekuatan militernya. Di sisi lain, Korea Selatan, tetangganya fokus memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Ini sebuah pilihan. Rakyat sejahtera dan dengan demikian bisa membangun kekuatan militer yang luar biasa. Atau kekuatan militernya kuat, tetapi kesejahteraan rakyatnya masih dipertanyakan.
“Sama, kita jangan hanya sibuk dengan persoalan-persoalan yang tidak substansif. Sehingga tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat terbengkalai,” papar Moeldoko.
Oleh karena itu di tengah situasi politik yang makin menghangat, Kepala Staf Kepresidenan berharap bangsa ini harus optimis menyongsong pesta demokrasi dengan penuh harapan dan kebanggaan.