Oleh : Gede Sandra
KEMENTERIAN Keuangan menggembar-gemborkan surplusnya indikator keseimbangan primer atau primary balance. Dikatakan di laman resmi Kemenkeu (26/6), telah terjadi surplus dalam keseimbangan primer sebesar Rp 18 triliun.
Sebagai informasi, keseimbangan primer merupakan total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Apabila nilai keseimbangan primer negatif/defisit, maka pemerintah harus menerbitkan utang baru untuk melunasi utang lama. Sebaliknya, apabila keseimbangan primer positif/surplus, maka pemerintah dapat menggunakan pendapatan negara untuk melunasi utang lama.
Namun, apakah neraca keseimbangan primer benar mengalami surplus seperti yang diumumkan oleh Kemenkeu?
Setelah melihat informasi pendapatan dan belanja negara dalam https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita, didapati bahwa total pendapatan negara hingga bulan Mei 2018 adalah sebesar Rp 685 triliun, realisasi baru mencapai 36,1 persen dari besaran yang ditetapkan di APBN 2018.
Total belanja/pengeluaran negara hingga bulan Mei 2018 adalah Rp 780 triliun, realisasi baru mencapai 35,1 persen dari besaran yang ditetapkan APBN 2018. Sementara total bunga utang yang sudah dibayarkan pemerintah hingga bulan Mei 2018 adalah sebesar Rp 113 triliun, realisasi sudah mencapai 47,1 persen.
Rumus menghitung neraca keseimbangan primer adalah “pendapatan-(belanja-pembayaran bunga)”. Yang perlu dicermati adalah besaran persentase realisasi dari ketiga variabel, pendapatan, belanja, dan pembayaran bunga. Realisasi pendapatan baru 36,1 persen. Realisasi belanja lebih kecil lagi, baru 35,1 persen. Sementara realisasi pembayaran bunga utang sudah di 47,1 persen, cukup jauh meninggalkan dua variabel sebelumnya.
Ini artinya realisasi ketiga variabel tersebut tidaklah sebanding (apple-to-apple) bila hendak dihitung dalam rumus neraca keseimbangan primer. Realisasi pendapatan dan belanja 11 hingga 12 persen lebih kecil dari realisasi pembayaran bunga utang. Kecepatan realisasi pembayaran bunga utang lebih tinggi dari pemasukan dan belanja. Dalam posisi pembayaran bunga yang lebih tinggi realisasinya dari pemasukan dan belanja, maka rumus perhitungan keseimbangan primer hampir pasti akan hasilkan nilai yang surplus.
Namun bagaimana seandainya bila kali ini kita asumsikan realisasi dari ketiga variabel tersebut sama? Katakanlah di 47,1 persen, menyesuaikan dengan realisasi pembayaran bunga (pemasukan menjadi Rp 892 triliun, belanja jadi di Rp 1.015 triliun, sementara belanja bunga tetap di Rp 113 triliun). Setelah dihitung menggunakan rumus, maka menghasilkan nilai keseimbangan primer yang defisit sebesar minus Rp 10 triliun.
Artinya, bila kecepatan realisasi ketiga variabel adalah sama, maka dapat dipastikan keseimbangan primer adalah defisit. Karena di APBN 2018 sendiri, dimana ketiga variabel tersebut diasumsikan sama-sama (apple-to-apple) terealisasi 100 persen, maka diproyeksikan akan terjadi defisit keseimbangan primer di akhir tahun hingga sebesar minus Rp 78 triliun.
Dapat disimpulkan, bahwa surplus keseimbangan primer hanya sementara saja, sampai pada akhirnya pasti kembali defisit. Tindakan menghitung tanpa memperhitungan kesebandingan variabel dapat dikategorikan sebagai tindakan akrobatik statistik. Menyiasati variable agar rumus perhitungan menghasilkan angka yang bagus untuk mengilusi publik, padahal realita sebenarnya dari hasil rumus perhitungan adalah sebaliknya (angka yang tidak bagus).
Penulis : Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)