Ada dua hal mengapa saya mendukung Rusia saat laga 16 besar Piala Dunia 2018 melawan Spanyol. Pertama, tentu saja karena faktor Sergio Ramos yang berada di kubu tim matador. Kedua karena adanya ikatan sejarah Rusia (Uni Soviet, saat itu) dengan Indonesia.
Faktor Ramos tidak lepas dari masih ‘sakit hati’ saya sebagai fans Liverpool FC ketika final Liga Champions Eropa lalu. Ramos yang memperkuat Real Madrid bermain layaknya banteng yang menghalalkan segala cara untuk menang sampai mencederai Mohammad Salah.
Sore itu (waktu Moskow) secara tak sadar, setiap Ramos menguasai bola saya selalu berteriak, “Huuuuu…..!” sembari memberikan gesture thumbs down dari atas tribun Stadion Luzhniki.
Emosi saya terluapkan ketika tendangan penalti ke lima Spanyol yang dieksekusi Iago Aspas dihalau penjaga gawang Rusia Igor Akinfeev. Teriakan puas keluar bersama tempik sorak puluhan ribu pendukung Rusia. Puas rasanya melihat pemain yang kini menjadi public enemy fans Liverpool FC tersebut harus pulang ke negaranya menyusul Tony Kroos, Cristiano Ronaldo, dan Lionell Messi dengan kepala tertunduk lesu.
Alasan kedua saya memilih mendukung Rusia saat berhadapan dengan Spanyol kemarin adalah faktor ‘kedekatan’ hubungan Rusia-Indonesia sejak negara ini masih dalam kesatuan Uni Soviet.
Saat menjejakkan kaki di Stadion Luzhniki, yang ada dalam pikiran saya adalah sosok Soekarno. Secara ide, Stadion Luzhniki yang menjadi arena pertandingan merupakan cikal bakal berdirinya Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta. Dari sini lah Soekarno bermimpi Indonesia harus memiliki ikon bangunan yang kuat.
Di dalam stadion ini, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, memberikan pidato di depan publik Uni Soviet pada 1956. Soekarno sangat terkesan dengan stadion megah yang mengambil namanya dari padang rumput tempat konstruksi dilakukan.
Ia pun meminta agar stadion serupa dibangun di Jakarta. Berkat pinjaman dana dan bantuan ahli konstruksi dari Uni Soviet, Kompleks Gelora Bung Karno didirikan untuk menyambut Asian Games 1962.
Pernak-pernik cerita soal pembangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno yang saya dapat dari literasi beberapa buku di Rusia dan cerita teman saya Raymond Junior Sihombing, dosen hukum di Universitas Persahabatan Rakyat Rusia, akan saya tulis di kesempatan yang lain.
Selama berada di Rusia saya selalu mengenakan atribut berbau Indonesia, mulai dari jersey kesebelasan sepak bola Indonesia, sarung, bendera merah putih, hingga aksesoris lain. Selain ingin membawa identitas Indonesia, saya juga ingin melihat respon orang-orang Rusia terhadap Indonesia.
Saat laga Rusia menghadapi Spanyol, saya mengenakan jersey tim nasional Rusia yang bertuliskan nama saya di bagian belakang dan menyelimutkan bendera merah putih di bahu.
Saya berjalan sendiri membaur dengan pendukung kesebelasan Rusia, tiket yang saya dapat saling berjauhan tempat duduknya dari teman-teman yang lain.
“Where are you from?” tanya seseorang yang berjalan di samping saya dari stasiun metro bawah tanah menuju area Stadion Luzhniki. Ketika saya menjawab Indonesia, dia yang kemudian memperkenalkan diri bernama Anthony dari Saint Petersburg, mengaku sering mendengar cerita dari kakeknya soal Indonesia, terutama Soekarno.
Dua hari lalu, saat melintas di lorong Stasiun Metro Park Kultury, ada seorang nenek-nenek mengamen menggunakan alat musik keyboard memainkan lagu-lagu klasik. Saya dan teman-teman berhenti sejenak untuk menontonnya.
Ada seorang bapak tua di sekitarnya yang berjualan terong, sayur, bawang, dan jamur. Ketika mengetahui kami berasal dari Indonesia, pria bernama Nikolai tersebut langsung menyebut nama Soekarno sambil mengangkat kepalan tangannya meninju udara.
Rupanya sosok Soekarno begitu menancap dalam setiap sudut kehidupan masyarakat Rusia. Kampus tempat Raymond mengajar yang berada di kawasan barat daya Moskow juga ‘karya’ dari Soekarno.
Pada akhir tahun 1950-an, Soekarno bertanya kepada Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev, “Bagaimana caranya orang-orang pintar dari negara saya belajar di sini (Uni Soviet)?”. Khrushchev menjawab, “Saya buatkan universitas.” Maka didirikanlah Universitas Persahabatan Rakyat Rusia.
Dari keterangan Raymond, pada awal pendiriannya jumlah mahasiswa asal Indonesia mencapai 60 persen dari seluruh mahasiswa universitas tersebut. Universitas ini didirikan pada 1960 dengan nama Universitas Persahabatan Rakyat yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Patrice Lumumba pada 1961.
Dalam pandangan saya, peran terbesar Soekarno dalam hubungan Indonesia-Uni Soviet adalah ditemukannya makam Imam Bukhari di Samarakand, Uzbekistan dan pemugaran Masjid Sabornaya.
Masjid Sabornaya sejatinya sudah dibangun sejak tahun 1904. Pemimpin Uni Soviet Josef Stalin yang menganut faham komunis ketika berkuasa memerintahkan semua tempat beribadah dialihfungsikan menjadi gudang senjata, termasuk Masjid Sabornaya.
Masa perang dingin kedekatan Soekarno dengan Khrushchev semakin erat karena keinginan Uni Soviet menjadikan poros Moskow-Beijing-Jakarta-Pyongyang. Namun Soekarno tidak bisa didikte negara manapun.
Dalam sebuah kunjungan ke Moskow, Soekarno menanyakan kepada Khrushchev, “Saya bawa rombongan banyak yang rata-rata Muslim. Bagaimana kita melaksanakan salat?”
Khrushchev yang kebingungan langsung memerintahkan stafnya untuk memindahkan seluruh senjata di gudang (Masjid Sabornaya) ke luar kota dan memugar secepatnya. Hasilnya saat ini Masjid Sabornaya menjadi tempat ibadah umat muslim terbesar di Eropa.
Catatan : Rossi Rahardjo dari Moskow, Rusia Novoslobodkaya, Moskow,
2 Juli 2018