Oleh: dr Hardisman, MHID, PhD
Esensinews.com – Pilkada serentak tahun 2018 ini telah usai kita laksanakan, pada berbagai Provinsi dan Kabupaten Kota di Indonesia.
Setiap warga negara yang berhak telah menyalurkan hak suaranya ada pemilihan tanggal 27 Juni 2018. Saat ini sebagai warga negara kita menunggu dengan baik keputusan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang siapa yang akan menjadi gubernur, walikota atau bupati dalam lima tahun kedepan.
Sebagaimana juga yang dilaksanakan dalam pemilihan walikota di Sumbar, untuk Kota Padang, Sawahlunto, Pariaman, dan Padang Panjang.
Bagi para kandidat atau partai politik yang mengusung calon yang akan duduk dalam pimpinan daerah kedepannya, saatnya menyusun kebijakan yang berpihak kepada rakyat demi kemaslahatan bersama. Pilkada adalah sebuah pertarungan politik dalam sebuah gelanggang, bila pertandingan itu telah usai saatnya untuk bekerja nyata.
Hari Keluarga Nasional yang Terluput
Hinggar-bingar Pilkada yang seyogyanya merupakan cerminan semangat untuk mengabdi pada bangsa dan negara kadang kala telah kehilangan semangat dan nilai luhurnya. Sejatinya Pilkada adalah untuk melahirkan pemimpin daerah yang negarawan yang mengerti persoalan rakyat dan mau bekerja untuk itu. Pilkada adalah sarana untuk menentukan orang terbaik yang mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan berat tersebut dalam tatatan kebijakan publik. Hal ini seharusnya tercermin dalam slogan dan jargon kampanye serta ide-ide yang diusung oleh para kandidat, yang juga dimengerti oleh Tim Sukses Utama mereka. Namun sayangnya, persolan-persoalan mendasar pada bidang kesehatan sering terluput.
Salah satu isu strategis yang semestinya menjadi perhatian setiap calon kepala daerah adalah menciptakan masyarakat sehat dan sejahtera. Isu-isu ini seharusnya diangkat bersamaan bersaaan dengan peringatan-peringatan hari nasional yang memang telah menjadi momen untuk itu. Hari ini tanggal 29 Juni, adalah Hari Keluarga Nasional (Harganas) dan Hari Keluarga Berencana Nasional telah luput dari perhatian.
Indonesia akan mengalami “Bonus Demografi” yang mana angkatan usia produktif (15-64 tahun) akan jauh lebih banyak atau berada pada angaka 60-70%, dibandingkan dengan penduduk usia muda (kurang dari 14 tahun) dan usia lanjut diatas 65 tahun. Bonus demografi telah dimulai pada periode 2012 hingga 2045, dan akan terjadi dengan puncaknya pada tahun 2030. Jumlah usia produktif yang lebih banyak diyakini akan mampu membawa kemajuan lebih pesat bagi pembangunan Indonesia dari segala dimensi jika mampu direncanakan dan dikelola dengan baik.
Akan tetapi, jika jumlah yang banyak ini tidak menjadi perhatian, terutama bagi kepala daerah yang telah kita pilih kemaren, maka “Bonus akan berubah menjadi petaka.”
Bonus Demografi Sebagai PR Kepala Daerah
Pekerjaan Rumah yang sudah menanti kepala daerah adalah berperan aktif dalam menciptakan generasi masa depan yang sehat dan kuat. Hal ini dimulai dengan perhatian dan dukungan serius terhadap layanan kesehatan ibu.
Angka kematian Ibu (AKI) secara nasional di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 305 dalam 100.000 kelahiran hidup pada survei antar sensus tahun 2016.
Meskipun terdapat variasi antar beberapa daerah, namun tentunya ada beberapa daerah yang justru lebih jelek dari itu.
Provinsi Sumbar sendiri, juga menunjukkan angka yang masih memperihatinkan, berada pada angka 212/ 100.000 kelahiran hidup. Haruslah diakui, angka ini mencerminkan layanan pemeriksaan kehamilan dan persalinan belumlah optimal, yang sekaligus mencerminkan layanan kesehatan dasar ibu dan anak belum memenuhi standar kinerja dan kualitas yang diharapkan.
Data AKI, diperkuat oleh hasi Survei Indikator Kesehatan Nasional yang meyebutkan bahwa masih ada 25,3% ibu hamil yang tidak terpantau atau memeriksakan kesehatannya selama kehamilan.
Kurang merata dan kurang baiknya layanan kesehatan pada ibu hamil juga tercermin dari masih tingginya angka anemia pada ibu hamil, yatitu 37,1% secara nasional. Kondisi ini jelas beresiko terhadap persalinan yang tidak aman, dan tumbuh kembang janin yang tidak sehat.
Hal ini tergambar dari tingginya (20,2%) angka bayi yang lahir pendek, atau <48cm menurut standar Indonesia. Meskipun sedikit lebih baik, angka di Sumbar masih perlu mendapatkan perhatian (15,2%). Selanjutnya, berdampak juga terhadap tumbuh-kembang anak yang berkualitas
Angkatan kerja yang bisa menjadi bonus demografi adalah mereka yang tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat. Pertumbuhan dan perkembangan yang baik itu dimulai dari sejak masa kehamilan dan 1.000 hari pertama kelahiran, atau hingga usia 3 tahun sebagai golden period.
Selama periode tiga tahun pertama itulah fase pembentukan otak dan cikal bakal intelejensia yang akan mampu membentuk angkatan kerja yang berkualitas. Sayangnya, data-data nasional juga masih menyisakan pekerjaan besar.
Data Riskesdas tahun 2013 juga menyebutkan terdapat 19,6% Balita dengan status gizi kurang dan buruk, dengan lebih sepertiganya gizi buruk atau 5,7% dari total.
Kurang gizi jelas berdampak besar pada pertumbuhan fisik dan sekaligus menjadi faktor menhambat pencapaian kecerdasan secara maksimal. Sebagaimana disebutkan dalam data-data BKKBN dan Kemenkes pendataan tahun 2013 tersebut, mendapatkan angka pertumbuhan Balita pendek atau terganggung (Stunting) sebanyak 37,2% secara nasional. Bahkan dalam hal ini, angka di Sumbar sedikir lebih tinggi (40,%).
Optimisme akan bonus demografi juga terhalang oleh tingginya angka penyalahgunaan narkoba pada anak dan remaja. Sebagaimana data yang dirilis oleh BNN tahun 2017, bahwa ada 1,77% atau hampir 3,4 juta pengguna narkoba di Indonesia, yang 24% atau 800.000 lebih adalah pelajar atau anak dan remaja. Bahkan untuk Sumbar, BNN juga menyebutkaan ada 66 ribu lebih pemakai dengan estimasi 15.000 lebih anak dan remaja. Hal ini jelas akan sangat mengancam kualitas bonus demografi masa depan. Jika angkatan kerja kita adalah mereka yang sudah kecanduan narkoba, apa lagi yang bisa kita harapkan.
Jika kita berharap bonus demografi akan memberikan dampak positif, maka masalah-masalah kesehatan ibu dan anak harus menjadi prioritas. Program layanan kesehatan ibu hamil, persalinan, dan balita harus harus menjadi perhatian serius dan menjadi indicator keberhasilan kepala daerah dalam lima tahun kedepan. Menangani masalah kesehatan mendasar tidak dapat dilakukan dengan program mercusuar yang dapat dipuji dan dilihat ‘wah’ oleh masyarkat banyak, seperti pembangunan puskesmas yang megah dan menampatkan dokter ahli 24 jam, karena semua itu adalah kuratif atau ibaratkan ‘mamadamkan api’ yang sedang menyala.
Diantara program yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dukungan penuh kepada penyuluh kesehatan, penempatan bidan yang kompeten dan merata, kecukupan tenaga kesehatan di layanan primer, dan tak kalah pentingnya mendukung dan mengaktifkan segala kegiatan kesehatan berbasis masyarakat. Terakhir yang tidak kalah pentingnya, perlunya ketegasan kepala daearah dan segenap kekuatan politik pendukung dalam memberantas penyalahgunaan narkoba, yang tercermin dalam program dan kerja nyata.
Kita juga berharap, apa yang telah dilakukan kepala daerah dalam lima tahun belakang ini juga membuahkan hasil lebih baik, dan akan tercermin dalam indikator-indikator kesehatan dalam SDKI tahun 2018 ini. Semoga.
Penulis adalah : (Ketua Program Pascasarjana Kesmas, Fakultas Kedokteran Unand, Padang)